Saturday 19 December 2015

BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

PERBANKAN SYARIAH/BANK DAN LEMBAGA KUANGAN SYARIAH

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: المصرفية الإسلامية al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.[1][2]

Daftar isi

  • 1 Sejarah
  • 2 Prinsip perbankan syariah
  • 3 Produk perbankan syariah
    • 3.1 Titipan atau simpanan
    • 3.2 Bagi hasil
    • 3.3 Jual beli
    • 3.4 Jasa
  • 4 Pengelolaan dana
  • 5 Referensi

Sejarah

Suatu bentuk awal ekonomi pasar dan merkantilisme, yang oleh beberapa ekonom disebut sebagai "kapitalisme Islam", telah mulai berkembang antara abad ke-8 dan ke-12.[3] Perekonomian moneter pada periode tersebut berdasarkan mata uang dinar yang beredar luas saat itu, yang menyatukan wilayah-wilayah yang sebelumnya independen secara ekonomi.
Pada abad ke-20, kelahiran perbankan syariah tidak terlepas dari hadirnya dua gerakan renaisans Islam modern, yaitu gerakan-gerakan neorevivalis dan modernis.[2] Sekitar tahun 1940-an, di Pakistan dan Malaysia telah terdapat upaya-upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non konvensional. Tahun 1963, Islamic Rural Bank berdiri di desa Mit Ghamr di Kairo, Mesir.[4]
Perbankan syariah secara global tumbuh dengan kecepatan 10-15% per tahun, dan menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan yang konsisten pada masa depan.[5] Laporan dari International Association of Islamic Banks dan analisis Prof. Khursid Ahmad menyebutkan bahwa hingga tahun 1999 telah terdapat lebih dari 200 lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, yaitu di negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim serta negara-negara lainnya di Eropa, Australia, maupun Amerika.[6] Diperkirakan terdapat lebih dari AS$ 822.000.000.000 aset di seluruh dunia yang dikelola sesuai prinsip-prinsip syariah, menurut analisis majalah The Economist.[7] Ini mencakup kira-kira 0,5% dari total estimasi aset dunia pada tahun 2005.[8] Analisis Perusahaan Induk CIMB Group menyatakan bahwa keuangan syariah adalah segmen yang paling cepat tumbuh dalam sistem keuangan global, dan penjualan obligasi syariah diperkirakan meningkat 24 persen hingga mencapai AS$ 25 miliar pada 2010.[9]

Prinsip perbankan syariah

Perbankan syariah memiliki tujuan yang sama seperti perbankan konvensional, yaitu agar lembaga perbankan dapat menghasilkan keuntungan dengan cara meminjamkan modal, menyimpan dana, membiayai kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai. Prinsip hukum Islam melarang unsur-unsur di bawah ini dalam transaksi-transaksi perbankan tersebut:[4]
  1. Perniagaan atas barang-barang yang haram,
  2. Bunga (ربا riba),
  3. Perjudian dan spekulasi yang disengaja (ميسر maisir), serta
  4. Ketidakjelasan dan manipulatif (غرر gharar)
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional adalah sebagai berikut:[4]
Afzalur Rahman dalam bukunya Islamic Doctrine on Banking and Insurance (1980) berpendapat bahwa prinsip perbankan syariah bertujuan membawa kemaslahatan bagi nasabah, karena menjanjikan keadilan yang sesuai dengan syariah dalam sistem ekonominya.[10]

Produk perbankan syariah

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:

Titipan atau simpanan

  • Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
  • Deposito Mudharabah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

Bagi hasil

  • Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
  • Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
  • Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
  • Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana nasabah hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

Jual beli

  • Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
  • Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang direkomendasikan penjual.
  • Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.
  • Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
  • Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik sama dengan ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, namun dimasa akhir sewa terjadi pemindahan kepemilikan atas barang sewa.

Jasa

  • Al-Wakalah adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad (perwakilan) yang sesuai dengan prinsip prinsip yang di terapkan dalam syariat islam.
  • Al-Kafalah adalah memberikan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, dengan kata lain mengalihkan tanggung jawab seorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai jaminan.
  • Al-Hawalah adalah akad perpindahan dimana dalam prakteknya memindahkan hutang dari tanggungan orang yang berhutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar hutang (contoh: lembaga pengambilalihan hutang).
  • Ar-Rahn, adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad gadai yang sesuai dengan syariah.
  • Al-Qardh adalah salah satu akad yang terdapat pada sistem perbankan syariah yang tidak lain adalah memberikan pinjaman baik berupa uang ataupun lainnya tanpa mengharapkan imbalan atau bunga ( riba . secara tidak langsung berniat untuk tolong menolong bukan komersial.

Pengelolaan dana

Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.
Adanya perbankan syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)dengan tujuan mengakomodir berbagai aspirasi dan pendapat di masyarakat terutama masyarakat Islam yang banyak berpendapat bahwa bunga bank itu haram karena termasuk riba dan juga untuk mengambil prinsip kehati-hatian. Apabila dilihat dari segi ekonomi dan nilai bisnis, ini merupakan terobosan besar karena penduduk Indonesia 80% beragama Islam, tentunya ini bisnis yang sangat potensial. Meskipun sebagian orang Islam berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba tetapi faedah, karena bunga yang diberikan atau diambil oleh bank berjumlah kecil jadi tidak akan saling dirugikan atau didzolimi, tetapi tetap saja bagi umat Islam berdirinya bank-bank syariah adalah sebuah kemajuan besar.
Sistem perbankan syariah di Indonesia masih berinduk pada Bank Indonesia. Idealnya, pemerintah Indonesia mendirikan lembaga keuangan khusus syariah yang setingkat Bank Indonesia, yaitu Bank Indonesia Syariah.

Referensi

  1. ^ Rammal, H. G., Zurbruegg, R. (2007). Awareness of Islamic Banking Products Among Muslims: The Case of Australia. dalam Journal of Financial Services Marketing, 12(1), 65-74.
  2. ^ a b Saeed, Abdullah. (1996). Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation. Leiden, Netherlands: E.J.Brill.
  3. ^ Subhi Y. Labib (1969), Capitalism in Medieval Islam dalam The Journal of Economic History, 29 (1), hlm. 79-96 [81, 83, 85, 90, 93, 96].
  4. ^ a b c Syafi'i Antonio, Muhammad (2001). Bank Syariah, Dari Teori ke Praktik, penyunting Dadi M.H. Basri, Farida R. Dewi, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press. ISBN 979-561-688-9.
  5. ^ http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2008/wp0816.pdf Islamic Banks and Financial Stability: An Empirical Analysis, hlm. 5
  6. ^ Khursid Ahmad, Islamic Finance and Banking: The Challenge of the 21st Century, dalam Imtiyazuddin Ahmad (ed.) Islamic Banking and Finance: The Concept, The Practice and The Challenge (Plainfield: The Islamic Society of North America, 1999).
  7. ^ "Sharia calling". The Economist. 2009-11-12.
  8. ^ Slater, Joanna (2007-01-10). "World's Assets Hit Record Value Of $140 Trillion". The Wall Street Journal.
  9. ^ https://archive.is/20121206032354/www.iran-daily.com/1388/12/11/MainPaper/3630/Page/5/Index.htm
  10. ^ Afzalur Rahman, Islamic Doctrine on Banking and Insurance (London: Muslim Trust Company, 1980).

KEWIRAUSAHAAN ISLAM

Konsep Kewirausahaan Menurut Islam

Konsep Kewirausahaan Menurut Islam. Tolak ukur yang paling banyak dipakai dalam menjalankan kewirausahaan antara lain ialah berdagang hanya cari untung, seringkali orang berdagang mengahalalkan segala cara. Berdagang merupakan hobi bagi yang menekuninya secara ikhlas. Berdagang adalah ibadah, karena berdagang sebagai wadah dalam berbuat baik kepada sesama manusia.
Dalam bab ini akan dicoba di terangkan tentang pengertian kewirausahaan dan wirausaha. Kewirausahaan menurut konsep Islam, kebutuhan akan wirausaha Islam (Al-Qur’an, sunnah rasul, dan sejarah Islam) sebagai sumber motivasi manusia antara kenyataan  hidup dan perjuangan untuk hidup lebih baik, langkah-langkah/proses kewirausahaan, ide motivasi, dan peluang dalam kewirausahaan.

Pengertian Kewirausahaan dan Wirausaha
 
Wirausaha adalah orang yang melakukan kegiatan mengorganisasi faktor-faktor produksi dan memberikan hasil yang produktif.
Menurut Lollent
Wirausaha adalah penanggung resiko yang memberi jasa faktor produksi dengan harga tertentu dan menjual dengan harga yang tak pasti dimasa yang akan datang.
Wirausaha Barat
Ciri-cirinya: individualistik (mementingkan kepentingan sendiri), kapitalistik (mengutamakan keuntungan materi) dan membunuh usaha yang lain (persaingan yang dilakukan cenderung negatif bahkan tidak sehat.
Wirausaha Sendiri
Ciri-cirinya: mengutamakan kebersamaan, dengan menggunakan sistem “anak asuh” artinya selalu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berusaha.
Menurut saya wirausaha adalah dimana seseorang atau kelompok-kelompok yang mempunyai modal yang besar untuk mendirikan suatu usaha, baik itu usaha yang menguntungkan untuk diri sendiri dan orang lain.

Kewirausahaan menurut Konsep Islam

1. Motif berwirausaha buat modal usaha
2. Berdagang hanya mencari untung, seringkali orang berdagang menghalalkan segala cara, berdagang merupakan hobi bagi yang menekuninya secara ikhlas. Berdagang adalah ibadah karena berdagang sebagai wadah dalam berbuat baik kepada sesama manusia.
3. Berbuat baik dapat menyenangkan otak yaitu tidak menimbulkan beban menjauhi dari singgungan penjual dan pembeli.
4. Perintah bekerja, terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Qashas, ayat 77, al-Baqarah ayat 33, Al- jum’ah ayat 7
Al-Qashas ayat 77
Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Al-Baqarah ayat 33
Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”
4. Manajemen Utang Piutang yakni Tidak mengambil laba secara besar-besaran dan Membayar utang secepatnya/tepat waktu
5. Membina tenaga kerja bawahan
6. Pamer kekayaan menjadikan modal beku
7. Sifat-sifat usaha : Takwa, tawakal, dzikir, syukur, Jujur, Niat suci ibadah, Azan dan bangun pagi, yang terdapat dalam QS jum’ah ayat 10
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Kebutuhan akan wirausaha Islam
(Al-Qur’an, sunnah rasul dan sejarah Islam) sebagai sumber motivasi.
Menurut pernyataan PBB
Suatu negara akan mampu membangun jika ada wirausaha sebanyak 2%. Belanda membangun negaranya 2% tingkat sedang 20% tingkat rendah. Indonesia membangun negaranya kurang lebih 3.000.000 besar dan sedang dan harus mencetak 30.000.000 usahawan kecil
Islam sebagai sumber motivasi
Surah An-Naba ayat 11
Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan
Surah Jumu’ah ayat 10
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Al-Muzammil ayat 20
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka dia memberi keringanan kepadamu, Karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Doa seribu dinar
Islam mengenal adanya zakat, infak.
Larangan pendewaan :
QS An-Najm ayat 29
Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.
Muhammad ayat 12
Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.
Al-Hadid ayat 20
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Tujuan ekonomi Islam
  1. Memenuhi kebutuhan seseorang secara sederhana
  2. Memenuhi kebutuhan keluarga
  3. Memenuhi kebutuhan jangka panjang
  4. Menyediakan kebutuhan akan yang ditinggalkan
  5. Memberi bantuan sosial menurut ajaran islam
Islam adalah ajaran yang diwahyukan Allah swt kepada nabi muhammad saw. Di dalam Islam dituntut untuk menuntut akhirat dan jangan melupakan persoalan dunia. Dalam Islam kita ditugaskan untuk tegas/Islam mengenal adanya zakat, infak dan sebagainya.

ASPEK EKONOMI ISLAM

                                              ASPEK EKONOMI ISLAM
  Islam adalah Agama yang peduli terhadap masalah sosial. Islam berupaya untuk membentuk manusia yang saleh dan menciptakan pribadi yang saleh pula.Bahkan, Islam berpandangan bahwa kesalehan masyarakat mutlak di perlukan demi kesalehan indivindu, sebagaimana tanah yang subur mutlak diperlukan demi tumbuhnya benih dan perkembangannya. Islam tidak menyetujui adanya manusia yang menyendiri dan mengasingkan diri dari masyarakat, atau seperi pendeta yang menjauhkan diri dari orang awam.    Namun,Islam memdorong manusia untuk selalu bersosialisasi dengan masyarakat. Bahkan, ketika beribadah kepada Allah, seperti Shalat, Islam menganjurkan agar dilakukan dengan berjamaah. dari Sinilah muncul urgensi adanya Masjid.
Miskipun seorang Muslim Shallat sendirian, namun jiwa sosial tetap merasuk dalam dirinya. Ketika shallat, ia selalu berdoa,
'' Hanya kepada-mu kami menyembah, dan hanya kepada-mu kami meminta pertolongan. Tunjuklkanah kami jalan yang lurus.( al- Faatihah [1]: 5-6) Demikian pula dalam zakat dan haji, yang merupakan dua ibadah sosial.
Al-Qur'an menyerukan orang mukalaf dalam bentuk jamak ( orang banyak), dengan berkata'' wahai orang-orang beriman.'' Hal itu menunjukkan bahwa mereka merupakan  satu-kesatuan dalam mengerjakan perintah Allah dan dalam meninggalkan larangan-Nya.
Rasulullah Saw. selalu senang berkumpul dengan suatu kelompok dan menghindar dari pengasingan diri. Beliu bersabda, '' Tangan Allah bersama jamaah. Dan barang siapa yang melepaskan diri dari jamaah, maka akan masuk neraka. segala hanya memakan domba yang berpisah dari kumpulannya.''
Termasuk ptunjuk yang dikeluarkan Nabi adalah sabda beliu, '' Tidak boleh ada seorang yang shalat sendirian dalam shaf.'' Bahkan, beliu menyuruh orang yang shalat menyendiri dalam satu shaf untuk mengulanggi shalatnya, karena beliu membenci pemisahan diri, meskipun dalam bentuk gambaran lahiriah saja.
   Rasulullah mendoakan  setiap amal perbuatan yang bermanfaat bagi masyarat banyak dan menjadikannya lebih utama daripada shalat, puasa, dan sedekah.
Beliau menyrankan setiap muslim agar setiap hari selalu memberikan sedekah untuk kepintingan umum, meski hanya berupa perbuatan  menyingkirkan duri dari jalanan, mengucapkan kata-kata yang baik, atau sekedar tersenyum kepada sesama saudaranya.
Islam sangat menaruh perhatian pada pembentukan keluarga dengan dasar yang kuat agar konsiten dalam menjalankan fungsinya dan jauh dari keguncangan serta kegelisahan. Keluarga adalah sekolah pertama yang melahirkan  anak -anak saleh. Membentuk keluarga merupakan amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan merusaknya termasuk perbuatan dosa besar yang dibenci.Allah. Bahkan, Al-Qur'an  menganggap perbuatan memisahkan seseorang dari istrinya termasuk perbuatan sihir.
Al-Qur'an memberikan perhatian kepada perempuan. Ia dimuliakan sebagai seorang gadis, Istri, Ibu, sebagai seorang manusia, dan juga sebagai anggota masyarakat. Ketika Al-Qur'an bercerita tentang lelaki, ia juga bercerita tentang perempuan, agar semua mengetahui bahwa perempuan merupakan bagian dari lelaki.
Allah berfirman, '' Sebagaian kalian merupakan bagian yang lain.''
Islam memperhatikan pendidikan bagi anak dan pemeliharaan remaja. Tidak heran bila perhatian terhadap aspek sosial termasuk dalam solusi Islam. Kita dapat menguraikan  masalah tersebut dalam poin-poin sebagai berikut.
1-Perhatian terhadap masalah  perempuan  agar mereka kembali pada fitrah dan tugas mereka yang sesungguhnya dan yang mulia , yaitu sebagi gadis yang sopan , istri yang salehah, dan ibu yang yang utama. perempuan yang memperhatikan kondisi dijalan, yang memenuhi kewajiban sebelum menuntut hak-haknya.
2-Perhatian terhadap anak kecil, baik dalam segi kesehatan, kejiwaan, maupun agama, dan membantu setiap keluarga yang tidak mampu dalam memelihara anaknya, juga upaya pemenuhan  kebutuhan tempat tinggal agar realitas anak jalanan dapat direduksi. Menyiapkan fasllitas belajar dan bermain bagi mereka serta melarang mempekerjakan anak dibawah umur dua belas tahun, agar mereka men dapatkan hak belajar dan menikmati masa kecil mereka yang indah.
3- Perhatian terhadap masalah kepemudaan yang merupakan generasi penerus. Islam memperhatikan aspek olahraga bagi mereka, sebagai usaha untuk mengembangkan aspek fisik dan mendorongmereka agar beribadah  untuk mengembangkan aspek rohani. Islam juga memberikan penekanan kepada mereka untuk menuntut ilmu guna mengembangkan moral dan mengembangkan sosial mereka dengan anjuran untuk aktif di orgenisasi sosial.
4-Menentang perilaku lelaki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya, karena hal itu akan menghilangkan kepribadian sesorang.
5- Melarang campur -baur antara lelaki dengan perempuan, baik ketika belajar, bekerja, maupun rekreasi, kecuali dalam kondosi darurat. Mengingkari eksploitas perempuan yang dipekerjakan dengan pekerjaan lelaki.
6-Mengatur cara berpakaian bagi perempuan, agar tidak menimbulkan rangsangan. Islam melarang membuka aurat dan berpakaian minim yang memancing berahi lawan jenis yang melihatnya. Hal ini untuk menjaga kesucian dan moral masyarakat, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
7-Menganjurkan penyegeraan pernikahan, penyiapa jalan kearah itu, dan menentang hal-hal yang menghalanginya, seperti mahalnya mas kawin, dan berlebihan dalam tuntutan biaya perkawinan. sebab, semua itu mempersulit jalan pernikahan.
8-Mencoba mempelejari  penyebab cerai untuk upaya memperkecil kuantitasnya. Islam menganggap perceraian adalah upaya paling terakhir dalam menangani percekcokan  antara suami dan istri. Ketika dikwatirkan terjadi perceraian, maka diperintahkan untuk menyidiakan orang berupaya mendamaikan antara keduanya, yang disebut sebagai hakam.
9- Menghargai kesenian dan mengarahkannya agar tidakmenimbulkan kekacauan dimasyarakat. Kesinian dapat digunakan sebagai media hiburan, namun hal itu tidak diiringi dengan pembukaan aurat dan sejenisnya. Hal ini berlaku dalam beragam jenis seni, baik berupa tulisan siaran televisi, maupun pementasan drama. Dengan demikian , seni diharapkan menjadi pembangunan masyarakat bukan penghancurnya.
10- Mengharamkan minuman keras dengan berbagai jenisnya. Islam menghadang pintu yang mengarah kesana dengan melarang memproduksi,mendistribusikan, dan memperdagangkannya, untuk menjaga kesehatan akal dan jasmani. Demikian juga halnya dengan narkotik,seperti ganja dan heroin. Beberapa negara Islam gencar melarang narkotik namun membebaskan minuman keras. Hal ini sungguh disayangkan.
11- Menutup pintu perjudian dalam segala jinisnya. judi adalah '' saudara'' minuman keras, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an. Keduanya dianggap sebagai najis berat dan termasuk perbuatan setan. Benarlah Allah yang telah berfirman dalam Al-Qur'an,
''Setan ingin menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian dalam minuman keras dan perjudian, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan melakukan shalat. Lantas tidakkah kalian berhenti dari hal itu ?'' ( al- Maa'idah[5]:91)
12-Menutup peran hiburan haram yang menyebarkan kekejian dan kerusakan, seperti tarian telanjang dan sejenisnya. Alasan hal itu ditujukan hiburan Sebagai menarik wisatawan asing adalah tidak benar, karena dosanya jauh lebih besar dari manfaatnya yang diperoleh.

13-Memberantas penyuapan dengan mempelajari sebab sebab nya dan mempertegas sanksi terhadap pelakunya, baik yang menyuap maupun yang disuap. juga memperketat pengawasan terhadap bebagai institusi, seperti perkantoran dan departemen. Menempatkan pegawai yang tepat, yang baik dan jujur, dan menghindarkan pegawai yang tidak bersifat amanah ( dapat dipercaya), seperti disinyalir dalam hadist,''' jika sifat amanah telah hilang , maka tunggulah kehancuran.'' Nabi ditanya,'' kemudian, bagaimana menghilangkannya?' Nabi bersabda. '' jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran.

TEORI EKONOMI MIKRO ISLAM

Sejarah Ekonomi Mikro Syariah
    Awal mula pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak masa Nabi Muhammad SAW diutus menjadi seorang Rasul. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan di masa Rasulullah selain masalah hukum (fiqih) dan politik (siyasah), kebijakan dalam hal perniagaan atau ekonomi (muamalah) juga diatur di antara kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan. Rasulullah menjadikan masalah ekonomi sebagai suatu hal yang harus diberikan perhatian yang lebih. Oleh karena perekonomian adalah pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan. Kebijakan yang telah dibentuk oleh Rasulullah ini, juga dijadikan pedoman oleh para Khalifah yang menggantikan kepemimpinan sepeninggal Rasulullah saw dalam mengambil keputusan tentang perekonomian. Landasan utama sebagai dasar adalah Al-Quran dan Al -Hadist. Berikut ini akan kita bicarakan lebih lanjut tentang pemikiran-pemikiran pada masa-masa tersebut.[3]
1.      Perekonomian Di Masa Rasulullah SAW (571-632 M)
Tentunya kondisi kehidupan pada masa Rasulullah SAW  sangat jauh berbeda dengan keadaan saat ini.Di masa Rasulullah saw, peperangan masih mewarnai kehidupan masyarakat pada saat itu. Salah satu sumber pendapatan masyarakat saat itu adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari lawan perang. Tidak ada pendapatan tetap bagi mereka sebagai pengikut perang bersama Rasulullah saw. Ketika harta rampasan perang telah dihalalkan untuk dinikmati secara keseluruhan oleh mereka yang mengikuti peperangan, kemudian turunlah Surat Al-Anfal (8) ayat 41 :[4]
“Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Alloh, Rosul, Kerabat Rosul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Alloh dan kepada yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu. “Sejak saat itu, harta rampasan yang diperoleh tidak digunakan secara keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan prahurit perang. Akan tetapi Rasulullah membaginya sesuai dengan perintah dari Allah dalam surat Al – Anfal ayat 41 di atas.
Tahun kedua setelah hijriah, Zakat Fitrah yang dibayarkan setahun sekali pada bulan ramadhan mulai diberlakukan. Besarya satu sha kurma, gandum, tepung keju, atau kismis. Setengah sha gandum untuk setiap muslim, budak atau orang bebas, laki-laki atau perempuan, muda atau tua dan dibayar sebelum Shalat Idul Fitri.
Zakat Maal ( Harta) diwajibkan pada tahun ke-9 hijriah, sementara zakat fitrah (shodaqoh fitrah) pada tahun ke-2 hijrah. Akan tetapi ada ahli hadist memandang zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 hijriah ketika Maulana Abdul hasa berkata zakat diwajibkan setelah hijriah dan kurun waktu lima tahun setelahnya. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum.[5]
2.      Perekonomian Di Masa Khulafaurrasyidin[6]
2.1.Abu Bakar As-Sidiq (51 SH -13 H / 537 – 634 M)
Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke Madinah, bersamaan dengan itu sebuah Baitul Maal dibangun. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarganya diurus oleh kekayaan dari Baitul Maal ini. Menurut beberapa keterangan beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dari Baitul Maal dalam beberapa waktu. Ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2500 dirham dan menurut keterangan 6000 dirham per tahun Khalifah Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Beliau juga mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan sepeninggal Rosululloh SAW.
2.2.Umar bin Khattab (40SH – 23H / 584 – 644 M)
Khalifah Umar sangat memperhatikan sektor ekonomi untuk menunjang perekonomian negerinya. Hukum perdagangan mengalami penyempurnaan untuk menciptakan perekonomian secara sehat. Umar mengurangi beban pajak untuk beberapa barang, pajak perdagangan nabad dan kurma Syiria sebesar 50%. Hal ini untuk memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota. Pada saat yang sama juga dibangun pasar agar tercipta perdagangan dengan persaingan yang bebas. Serta adanya pengawasan terhadap penekanan harga. Beliau juga sangat tegas dalam menangani masalah zakat. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum. Umar menetapkan zakat atas harta dan bagi yang membangkang didenda sebesar 50% dari kekayaannya.
2.3.Ustman bin Affan ( 47 SH – 35H / 577 – 656 M)
Khalifah Ustman mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh Umar. Usman mengurangi jumlah zakat dari pensiun. Tabri menyebutkan ketika khalifah Ustman menaikkan pensiun sebesar seratus dirham, tetapi tidak ada rinciannya.Beliau menambahkan santunan dengan pakaian. Selain itu ia memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk orang-orang miskin dan musafir.
Pada masa Ustman, sumber pendapatan pemerintah berasal dari zakat, ushr( zakat atas hasil pertanian dan buah – buahan) , kharaj(pajak yang ditujukan untuk menjaga kebutuhan atau fasilitas umum atau publik), fay( tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya sehinga diambil alih menjadi milik negara) dan ghanimah( harta rampasan perang). Zakat ditetapkan 2,5 persen dari modal aset. Ushr ditetapkan 10 persen iuran tanah-tanah pertanian sebagaiman barang-barang dagangan yang diimpor dari luar negeri. Persentase dari kharaj lebih tinggi dari ushr. Ghanimah yang didapatkan dibagi 4/5 kepada para prajurit yang ikut andil dalam perang sedangkan 1/5-nya disimpan sebagai kas negara.
2.4. All bin Abi Thalib (23H – 40H / 600 – 661 M )
Pada masa pemerintahan Ali, beliau mendistribusikan seluruh pendapatan provinsi yang ada di Baitul Mall Madinah , Busra, dan Kuffah. Ali ingin mendistribusikan sawad, namun ia menahan diri untuk menghindari terjadi perselisihan.Secara umum, banyak kebijakan dari khalifah Ustman yang masih diterapkan, seperti alokasi pengeluaran yang tetap sama.
b.      Definisi Ekonomi Mikro Islam menurut Ekonomi Islam
Dari uraian sejarah singkat dari ekonomi mikro tersebut maka definisi ekonomi mikro tidaklah lagi sebagaimana definisi umum yang biasa kita kenal dalam buku-buku mengenai keduanya. Yaitu ekonomi mikro disebutkan sebagai teori yang menelaah kegiatan ekonomi secara individual dari sudut pandang hubungan antara produksi, konsumsi, harga, permintaan dan penawaran. Tidaklah demikian. Sebagaimana sejarah menyebutkan, maka definisi dari ekonomi mikro dapat kita definisikan dengan definisi yang lebih akurat, yakni sebagai berikut:
Bahwa Ekonomi Mikro adalah:
Teori ekonomi yang menelaah kegiatan ekonomi antar individu dalam suatu masyarakat, yang apabila teori tersebut dipraktekkan dalam kehidupan nyata pasti akan menimbulkan masalah, yang masalah tersebut tidak akan pernah dapat terselesaikan dengan cara apapun juga.” [7]
Apabila ada sebuah solusi yang mampu meredam gejolak masalah tersebut, pasti dikemudian hari masalah tersebut akan muncul kembali dengan permasalahan yang jauh lebih besar.
c.       Ruang Lingkup Ekonomi Mikro Islam
Pada dataran teoritis, ada beberapa pokok bahasan ilmu mikro ekonomi yang telah menjadi kajian dari sudut pandang ilmu ekonomi Islam, diantaranya adalah:[8]
1.      Asumsi Rasionalitas dalam Ekonomi Islami
-           Perluasan konsep Rasionalitas melalui persyaratan transitivitas dan pengaruh infak (sedekah) terhadap utilitas.
-          Perluasan spektrum utilitas oleh nilai Islam tentang halal dan haram
-          Pelonggaran persyaratan kontinuitas, misal permintaan barang haram ketika keadaan darurat.
-          Perluasan horison waktu (kebalikan konsep time value of money)
2.      Teori Permintaan Islami
-          Peningkatan Utilitas antara barang halal dan haram.
-          Corner Solution untuk pilihan halal-haram.
-          Permintaan barang haram dalam keadaan darurat (tidak optimal)
3.      Teori Produksi Islami
-          Perbandingan pengaruh sistem bunga dan bagi hasil terhadap biaya produksi,
-          pendapatan, dan efisiensi produksi.
4.      Teori Penawaran Islami
-          Perbandingan pengaruh pajak penjualan dan zakat perniagaan terhadap surplus produsen.
-          Internalisasi Biaya Eksternal.
-          Penerapan Biaya Kompensasi, batas ukuran, atau daur ulang.
5.      Mekanisme Pasar Islami
-          Mekanisme pasar menurut Abu Yusuf, al-Ghazaly, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun.
-          Mekanisme pasar Islami dan intervensi harga Islami.
-          Intervensi harga yang adil dan zalim.
6.      Efisiensi Alokasi dan Distribusi Pendapatan
-          Infak dan maksimalisasi utilitas
-          Superioritas sistem ekonomi Islam
Diskursus ilmu mikro ekonomi ini masih memiliki kekurangan mendasar karena seringkali diadopsi dari model yang dipergunakan dalam ekonomi konvensional sehingga tidak selalu sesuai dengan asumsi paradigmatiknya. Lebih-lebih lagi, pengujian empiris terhadap model-model ini tidak mungkin dilakukan sekarang karena tidak adanya sebuah perekonomian yang benar-benar islami atau yang mendekatinya, dan juga tidak tersedianya data yang diperlukan untuk pengujian tersebut. Sangat sedikit kajian yang memperlihatkan bagaimana aktivitas perekonomian muslim beroperasi pada zaman dahulu. Bahkan kajian empiris terhadap masyarakat muslim modern di negara-negara muslim maupun nonmuslim dari perspektif Islam juga amat jarang.
Namun demikian, ini tidak berarti mengurangi minat dan semangat kita mengembangkan ilmu Ekonomi Islam. Kerangka hipotesis yang telah terintis dapat berfungsi sebagai tujuan yang berguna dalam menyediakan bangunan teoritis bagi ilmu Ekonomi Islam dan mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan suatu perekonomian islam, ketika kelak hal itu telah dipraktekkan di suatu negara. Hanya dengan mengembangkan mikroekonomi yang sesuai dengan paradigma Islamlah yang akan meneguhkan identitas unik Ekonomi Islam. Oleh karena itu, “Konstruksi teori mikroekonomi di bawah batasan-batasan Islam merupakan tugas yang paling menantang di depan ilmu Ekonomi Islam”.
d.      Karakteristik Ekonomi Mikro Islam[9]
1.      Ekonomi Islam pengaturannya bersifat ketuhanan/ilahiah (nizhamun rabbaniyyun), mengingat dasar-dasar pengaturannya yang tidak diletakkan oleh manusia, akan tetapi didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan Allah s.w.t. sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, berbeda dengan hukum ekonomi lainnya yakni kapitalis (ra’simaliyah; capitalistic) dan sosialis (syuyu`iyah; socialistic) yang tata aturannya semata-mata didasarkan atas konsep-konsep/teori-teori yang dihadirkan oleh manusia (para ekonom).
2.      Dalam Islam, ekonomi hanya merupakan satu titik bahagian dari al-Islam secara keseluruhan (juz’un min al-Islam as-syamil). Oleh karena ekonomi itu hanya merupakan salah satu bagian atau tepatnya sub sistem dari al-Islam yang bersifat komprehensip (al-Islam as-syamil), maka ini artinya tidaklah mungkin memisahkan persoalan ekonomi dari rangkaian ajaran Islam secara keseluruhan yang bersifat utuh dan menyeluruh (holistik). Misalnya saja, karena Islam itu agama akidah dan agama akhlak di samping agama syariah (muamalah), maka ekonomi Islam tidak boleh terlepas apalagi dilepaskan dari ikatannya dengan sistem akidah dan sistem akhlaq (etika) di samping hukum. Itulah sebabnya seperti akan dibahas pada waktunya nanti, mengapa ekonomi Islam tetap dibangun di atas asas-asas akadiah (al-asas al-`aqa’idiyyah) dan asas-asas etika-moral (al-asas akhlaqiyyah) yang lainnya.
3.      Ekonomi berdimensi akidah atau keakidahan (iqtishadun `aqdiyyun), mengingat ekonomi Islam itu pada dasarnya terbit atau lahir (sebagai ekspresi) dari akidah Islamiah (al-`aqidah sl-Islamiyyah) yang di dalamnya akan dimintakan pertanggung-jawaban terhadap akidah yang diyakininya. Atas dasar ini maka seorang Muslim (menjadi) terikat dengan sebagian kewajibannya semisal zakat, sedekah dan lain-lain walaupun dia sendiri harus kehilangan sebagian kepentingan dunianya karena lebih cenderung untuk mendapatkan pahala dari Allah s.w.t. di hari kiamat kelak.
4.      Berkarakter ta`abbudi (thabi`un ta`abbudiyun). Mengingat ekonomi Islam itu merupakan tata aturan yang berdimensikan ketuhanan (nizham rabbani), dan setiap ketaatan kepada salah satu dari sekian banyak aturan-aturan Nya adalah berarti ketaatan kepada Allah s.w.t., dan setiap ketaatan kepada Allah itu adalah ibadah. Dengan demikian maka penerapan aturan-aturan ekonomi Islam (al-iqtishad al-Islami) adalah juga mengandung nilai-nilai ibadah dalam konteksnya yang sangat luas dan umum.
5.      Terkait erat dengan akhlak (murtabithun bil-akhlaq), Islam tidak pernah memprediksi kemungkinan ada pemisahan antara akhlak dan ekonomi, juga tidak pernah memetakan pembangunan ekonomi dalam lindungan Islam yang tanpa akhlak. Itulah sebabnya mengapa dalam Islam kita tidak akan pernah menemukan aktivitas ekonomi seperti perdagangan, perkreditan dan lain-lain yang semata-mata murni kegiatan ekonomi sebagaimana terdapat di dalam ekonomi non Islam. Dalam Islam, kegiatan ekonomi sama sekali tidak boleh lepas dari kendali akhlaq (etika-moral) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam secara keseluruhan.
6.      Elastis (al-murunah), dalam pengertian mampu berkembang secara perlahan-lahan atau evolusi. Kekhususan al-murunah ini didasarkan pada kenyataan bahwa baik al-Qur’an maupun al-Hadits, yang keduanya dijadikan sebagai sumber asasi ekonomi, tidak memberikan doktrin ekonomi secara tekstual akan tetapi hanya memberikan garis-garis besar yang bersifat instruktif guna mengarahkan perekonomian Islam secara global. Sedangkan implementasinya secara riil di lapangan diserahkan kepada kesepakatan sosial (masyarakat ekonomi) sepanjang tidak menyalahi cita-cita syari`at (maqashid as-syari`ah).
7.      Objektif (al-maudhu`iyyah), dalam pengertian, Islam mengajarkan umatnya supaya berlaku dan bertindak obyekektif dalam melakukan aktifitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada hakekatnya adalah merupakan pelaksanaan amanat yang harus dipenuhi oleh setiap pelaku ekonomi tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, warna kulit, etnik, agama/kepercayaan dan lain-lain. Bahkan terhadap musuh sekalipun di samping terhadap kawan dekat. Itulah sebabnya mengapa monopoli misalnya dilarang dalam Islam. Termasuk ke dalam hal yang dilarang ialah perlakuan dumping dalam berdagang/berbisnis.
8.      Memiliki target sasaran/tujuan yang lebih tinggi (al-hadaf as-sami). Berlainan dengan sistem ekonomi non Islam yang semata-mata hanya untuk mengejar kepuasan materi (ar-rafahiyah al-maddiyah), ekonomi Islam memiliki sasaran yang lebih jauh yakni merealisasikan kehidupan kerohanian yang lebih tinggi (berkualitas) dan pendidikan kejiwaan.
9.      Realistis (al-waqi`iyyah). Prakiraan (forcasting) ekonomi khususnya prakiraan bisnis tidak selamanya sesuai antara teori di satu sisi dengan praktek pada sisi yang lain. Dalam hal-hal tertentu, sangat dimungkinkan terjadi pengecualian atau bahkan penyimpangan dari hal-hal yang semestinya. Misalnya, dalam keadaan normal, Islam mengharamkan praktek jual-beli barang-barang yang diharamkan untuk mengonsumsinya, tetapi dalam keadaan darurat (ada kebutuhan sangat mendesak) pelarangan itu bisa jadi diturunkan statusnya menjadi boleh atau sekurang-kurangnya tidak berdosa.
10.  Harta kekayaan itu pada hakekatnya adalah milik Alah s.w.t. Dalam prinsip ini terkandung maksud bahwa kepemilikan seseorang terhadap harta kekayaan (al-amwal) tidaklah bersifat mutlak. Itulah sebabnya mengapa dalam Islam pendayagunaan harta kekayaan itu tetap harus diklola dan dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan Sang Maha Pemilik yaitu Allah s.w.t. Atas dalih apapun, seseorang tidak bolehbertindak sewenag-wenang dalam mentasarrufkan (membelanjakan) harta kekayaannya, termasuk dengan dalih bahwa harta kekayaan itu milik pribadinya.
11.  Memiliki kecakapan dalam mengelola harta kekayaan (tarsyid istikhdam al-mal). Para pemilik harta perlu memiliki kecerdasan/kepiawaian dalam mengelola atau mengatur harta kekayaannya semisal berlaku hemat dalam berbelanja, tidak menyerahkan harta kepada orang yang belum/tidak mengerti tentang pendayagunaannya, dan tidak membelanjakan hartanya ke dalam hal-hal yang diharamkan agama, serta tidak menggunakannya pada hal-hal yang akan merugikan orang lain.

Sejarah Ekonomi Mikro Syariah
Awal mula pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak masa Nabi Muhammad SAW diutus menjadi seorang Rasul. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan di masa Rasulullah selain masalah hukum (fiqih) dan politik (siyasah), kebijakan dalam hal perniagaan atau ekonomi (muamalah) juga diatur di antara kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan. Rasulullah menjadikan masalah ekonomi sebagai suatu hal yang harus diberikan perhatian yang lebih. Oleh karena perekonomian adalah pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan. Kebijakan yang telah dibentuk oleh Rasulullah ini, juga dijadikan pedoman oleh para Khalifah yang menggantikan kepemimpinan sepeninggal Rasulullah saw dalam mengambil keputusan tentang perekonomian. Landasan utama sebagai dasar adalah Al-Quran dan Al -Hadist. Berikut ini akan kita bicarakan lebih lanjut tentang pemikiran-pemikiran pada masa-masa tersebut.[3]
1.      Perekonomian Di Masa Rasulullah SAW (571-632 M)
Tentunya kondisi kehidupan pada masa Rasulullah SAW  sangat jauh berbeda dengan keadaan saat ini.Di masa Rasulullah saw, peperangan masih mewarnai kehidupan masyarakat pada saat itu. Salah satu sumber pendapatan masyarakat saat itu adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari lawan perang. Tidak ada pendapatan tetap bagi mereka sebagai pengikut perang bersama Rasulullah saw. Ketika harta rampasan perang telah dihalalkan untuk dinikmati secara keseluruhan oleh mereka yang mengikuti peperangan, kemudian turunlah Surat Al-Anfal (8) ayat 41 :[4]
“Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Alloh, Rosul, Kerabat Rosul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Alloh dan kepada yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu. “Sejak saat itu, harta rampasan yang diperoleh tidak digunakan secara keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan prahurit perang. Akan tetapi Rasulullah membaginya sesuai dengan perintah dari Allah dalam surat Al – Anfal ayat 41 di atas.
Tahun kedua setelah hijriah, Zakat Fitrah yang dibayarkan setahun sekali pada bulan ramadhan mulai diberlakukan. Besarya satu sha kurma, gandum, tepung keju, atau kismis. Setengah sha gandum untuk setiap muslim, budak atau orang bebas, laki-laki atau perempuan, muda atau tua dan dibayar sebelum Shalat Idul Fitri.
Zakat Maal ( Harta) diwajibkan pada tahun ke-9 hijriah, sementara zakat fitrah (shodaqoh fitrah) pada tahun ke-2 hijrah. Akan tetapi ada ahli hadist memandang zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 hijriah ketika Maulana Abdul hasa berkata zakat diwajibkan setelah hijriah dan kurun waktu lima tahun setelahnya. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum.[5]
2.      Perekonomian Di Masa Khulafaurrasyidin[6]
2.1.Abu Bakar As-Sidiq (51 SH -13 H / 537 – 634 M)
Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke Madinah, bersamaan dengan itu sebuah Baitul Maal dibangun. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarganya diurus oleh kekayaan dari Baitul Maal ini. Menurut beberapa keterangan beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dari Baitul Maal dalam beberapa waktu. Ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2500 dirham dan menurut keterangan 6000 dirham per tahun Khalifah Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Beliau juga mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan sepeninggal Rosululloh SAW.
2.2.Umar bin Khattab (40SH – 23H / 584 – 644 M)
Khalifah Umar sangat memperhatikan sektor ekonomi untuk menunjang perekonomian negerinya. Hukum perdagangan mengalami penyempurnaan untuk menciptakan perekonomian secara sehat. Umar mengurangi beban pajak untuk beberapa barang, pajak perdagangan nabad dan kurma Syiria sebesar 50%. Hal ini untuk memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota. Pada saat yang sama juga dibangun pasar agar tercipta perdagangan dengan persaingan yang bebas. Serta adanya pengawasan terhadap penekanan harga. Beliau juga sangat tegas dalam menangani masalah zakat. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum. Umar menetapkan zakat atas harta dan bagi yang membangkang didenda sebesar 50% dari kekayaannya.
2.3.Ustman bin Affan ( 47 SH – 35H / 577 – 656 M)
Khalifah Ustman mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh Umar. Usman mengurangi jumlah zakat dari pensiun. Tabri menyebutkan ketika khalifah Ustman menaikkan pensiun sebesar seratus dirham, tetapi tidak ada rinciannya.Beliau menambahkan santunan dengan pakaian. Selain itu ia memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk orang-orang miskin dan musafir.
Pada masa Ustman, sumber pendapatan pemerintah berasal dari zakat, ushr( zakat atas hasil pertanian dan buah – buahan) , kharaj(pajak yang ditujukan untuk menjaga kebutuhan atau fasilitas umum atau publik), fay( tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya sehinga diambil alih menjadi milik negara) dan ghanimah( harta rampasan perang). Zakat ditetapkan 2,5 persen dari modal aset. Ushr ditetapkan 10 persen iuran tanah-tanah pertanian sebagaiman barang-barang dagangan yang diimpor dari luar negeri. Persentase dari kharaj lebih tinggi dari ushr. Ghanimah yang didapatkan dibagi 4/5 kepada para prajurit yang ikut andil dalam perang sedangkan 1/5-nya disimpan sebagai kas negara.
2.4. All bin Abi Thalib (23H – 40H / 600 – 661 M )
Pada masa pemerintahan Ali, beliau mendistribusikan seluruh pendapatan provinsi yang ada di Baitul Mall Madinah , Busra, dan Kuffah. Ali ingin mendistribusikan sawad, namun ia menahan diri untuk menghindari terjadi perselisihan.Secara umum, banyak kebijakan dari khalifah Ustman yang masih diterapkan, seperti alokasi pengeluaran yang tetap sama.
b.      Definisi Ekonomi Mikro Islam menurut Ekonomi Islam
Dari uraian sejarah singkat dari ekonomi mikro tersebut maka definisi ekonomi mikro tidaklah lagi sebagaimana definisi umum yang biasa kita kenal dalam buku-buku mengenai keduanya. Yaitu ekonomi mikro disebutkan sebagai teori yang menelaah kegiatan ekonomi secara individual dari sudut pandang hubungan antara produksi, konsumsi, harga, permintaan dan penawaran. Tidaklah demikian. Sebagaimana sejarah menyebutkan, maka definisi dari ekonomi mikro dapat kita definisikan dengan definisi yang lebih akurat, yakni sebagai berikut:
Bahwa Ekonomi Mikro adalah:
Teori ekonomi yang menelaah kegiatan ekonomi antar individu dalam suatu masyarakat, yang apabila teori tersebut dipraktekkan dalam kehidupan nyata pasti akan menimbulkan masalah, yang masalah tersebut tidak akan pernah dapat terselesaikan dengan cara apapun juga.” [7]
Apabila ada sebuah solusi yang mampu meredam gejolak masalah tersebut, pasti dikemudian hari masalah tersebut akan muncul kembali dengan permasalahan yang jauh lebih besar.
c.       Ruang Lingkup Ekonomi Mikro Islam
Pada dataran teoritis, ada beberapa pokok bahasan ilmu mikro ekonomi yang telah menjadi kajian dari sudut pandang ilmu ekonomi Islam, diantaranya adalah:[8]
1.      Asumsi Rasionalitas dalam Ekonomi Islami
-           Perluasan konsep Rasionalitas melalui persyaratan transitivitas dan pengaruh infak (sedekah) terhadap utilitas.
-          Perluasan spektrum utilitas oleh nilai Islam tentang halal dan haram
-          Pelonggaran persyaratan kontinuitas, misal permintaan barang haram ketika keadaan darurat.
-          Perluasan horison waktu (kebalikan konsep time value of money)
2.      Teori Permintaan Islami
-          Peningkatan Utilitas antara barang halal dan haram.
-          Corner Solution untuk pilihan halal-haram.
-          Permintaan barang haram dalam keadaan darurat (tidak optimal)
3.      Teori Produksi Islami
-          Perbandingan pengaruh sistem bunga dan bagi hasil terhadap biaya produksi,
-          pendapatan, dan efisiensi produksi.
4.      Teori Penawaran Islami
-          Perbandingan pengaruh pajak penjualan dan zakat perniagaan terhadap surplus produsen.
-          Internalisasi Biaya Eksternal.
-          Penerapan Biaya Kompensasi, batas ukuran, atau daur ulang.
5.      Mekanisme Pasar Islami
-          Mekanisme pasar menurut Abu Yusuf, al-Ghazaly, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun.
-          Mekanisme pasar Islami dan intervensi harga Islami.
-          Intervensi harga yang adil dan zalim.
6.      Efisiensi Alokasi dan Distribusi Pendapatan
-          Infak dan maksimalisasi utilitas
-          Superioritas sistem ekonomi Islam
Diskursus ilmu mikro ekonomi ini masih memiliki kekurangan mendasar karena seringkali diadopsi dari model yang dipergunakan dalam ekonomi konvensional sehingga tidak selalu sesuai dengan asumsi paradigmatiknya. Lebih-lebih lagi, pengujian empiris terhadap model-model ini tidak mungkin dilakukan sekarang karena tidak adanya sebuah perekonomian yang benar-benar islami atau yang mendekatinya, dan juga tidak tersedianya data yang diperlukan untuk pengujian tersebut. Sangat sedikit kajian yang memperlihatkan bagaimana aktivitas perekonomian muslim beroperasi pada zaman dahulu. Bahkan kajian empiris terhadap masyarakat muslim modern di negara-negara muslim maupun nonmuslim dari perspektif Islam juga amat jarang.
Namun demikian, ini tidak berarti mengurangi minat dan semangat kita mengembangkan ilmu Ekonomi Islam. Kerangka hipotesis yang telah terintis dapat berfungsi sebagai tujuan yang berguna dalam menyediakan bangunan teoritis bagi ilmu Ekonomi Islam dan mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan suatu perekonomian islam, ketika kelak hal itu telah dipraktekkan di suatu negara. Hanya dengan mengembangkan mikroekonomi yang sesuai dengan paradigma Islamlah yang akan meneguhkan identitas unik Ekonomi Islam. Oleh karena itu, “Konstruksi teori mikroekonomi di bawah batasan-batasan Islam merupakan tugas yang paling menantang di depan ilmu Ekonomi Islam”.
d.      Karakteristik Ekonomi Mikro Islam[9]
1.      Ekonomi Islam pengaturannya bersifat ketuhanan/ilahiah (nizhamun rabbaniyyun), mengingat dasar-dasar pengaturannya yang tidak diletakkan oleh manusia, akan tetapi didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan Allah s.w.t. sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, berbeda dengan hukum ekonomi lainnya yakni kapitalis (ra’simaliyah; capitalistic) dan sosialis (syuyu`iyah; socialistic) yang tata aturannya semata-mata didasarkan atas konsep-konsep/teori-teori yang dihadirkan oleh manusia (para ekonom).
2.      Dalam Islam, ekonomi hanya merupakan satu titik bahagian dari al-Islam secara keseluruhan (juz’un min al-Islam as-syamil). Oleh karena ekonomi itu hanya merupakan salah satu bagian atau tepatnya sub sistem dari al-Islam yang bersifat komprehensip (al-Islam as-syamil), maka ini artinya tidaklah mungkin memisahkan persoalan ekonomi dari rangkaian ajaran Islam secara keseluruhan yang bersifat utuh dan menyeluruh (holistik). Misalnya saja, karena Islam itu agama akidah dan agama akhlak di samping agama syariah (muamalah), maka ekonomi Islam tidak boleh terlepas apalagi dilepaskan dari ikatannya dengan sistem akidah dan sistem akhlaq (etika) di samping hukum. Itulah sebabnya seperti akan dibahas pada waktunya nanti, mengapa ekonomi Islam tetap dibangun di atas asas-asas akadiah (al-asas al-`aqa’idiyyah) dan asas-asas etika-moral (al-asas akhlaqiyyah) yang lainnya.
3.      Ekonomi berdimensi akidah atau keakidahan (iqtishadun `aqdiyyun), mengingat ekonomi Islam itu pada dasarnya terbit atau lahir (sebagai ekspresi) dari akidah Islamiah (al-`aqidah sl-Islamiyyah) yang di dalamnya akan dimintakan pertanggung-jawaban terhadap akidah yang diyakininya. Atas dasar ini maka seorang Muslim (menjadi) terikat dengan sebagian kewajibannya semisal zakat, sedekah dan lain-lain walaupun dia sendiri harus kehilangan sebagian kepentingan dunianya karena lebih cenderung untuk mendapatkan pahala dari Allah s.w.t. di hari kiamat kelak.
4.      Berkarakter ta`abbudi (thabi`un ta`abbudiyun). Mengingat ekonomi Islam itu merupakan tata aturan yang berdimensikan ketuhanan (nizham rabbani), dan setiap ketaatan kepada salah satu dari sekian banyak aturan-aturan Nya adalah berarti ketaatan kepada Allah s.w.t., dan setiap ketaatan kepada Allah itu adalah ibadah. Dengan demikian maka penerapan aturan-aturan ekonomi Islam (al-iqtishad al-Islami) adalah juga mengandung nilai-nilai ibadah dalam konteksnya yang sangat luas dan umum.
5.      Terkait erat dengan akhlak (murtabithun bil-akhlaq), Islam tidak pernah memprediksi kemungkinan ada pemisahan antara akhlak dan ekonomi, juga tidak pernah memetakan pembangunan ekonomi dalam lindungan Islam yang tanpa akhlak. Itulah sebabnya mengapa dalam Islam kita tidak akan pernah menemukan aktivitas ekonomi seperti perdagangan, perkreditan dan lain-lain yang semata-mata murni kegiatan ekonomi sebagaimana terdapat di dalam ekonomi non Islam. Dalam Islam, kegiatan ekonomi sama sekali tidak boleh lepas dari kendali akhlaq (etika-moral) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam secara keseluruhan.
6.      Elastis (al-murunah), dalam pengertian mampu berkembang secara perlahan-lahan atau evolusi. Kekhususan al-murunah ini didasarkan pada kenyataan bahwa baik al-Qur’an maupun al-Hadits, yang keduanya dijadikan sebagai sumber asasi ekonomi, tidak memberikan doktrin ekonomi secara tekstual akan tetapi hanya memberikan garis-garis besar yang bersifat instruktif guna mengarahkan perekonomian Islam secara global. Sedangkan implementasinya secara riil di lapangan diserahkan kepada kesepakatan sosial (masyarakat ekonomi) sepanjang tidak menyalahi cita-cita syari`at (maqashid as-syari`ah).
7.      Objektif (al-maudhu`iyyah), dalam pengertian, Islam mengajarkan umatnya supaya berlaku dan bertindak obyekektif dalam melakukan aktifitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada hakekatnya adalah merupakan pelaksanaan amanat yang harus dipenuhi oleh setiap pelaku ekonomi tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, warna kulit, etnik, agama/kepercayaan dan lain-lain. Bahkan terhadap musuh sekalipun di samping terhadap kawan dekat. Itulah sebabnya mengapa monopoli misalnya dilarang dalam Islam. Termasuk ke dalam hal yang dilarang ialah perlakuan dumping dalam berdagang/berbisnis.
8.      Memiliki target sasaran/tujuan yang lebih tinggi (al-hadaf as-sami). Berlainan dengan sistem ekonomi non Islam yang semata-mata hanya untuk mengejar kepuasan materi (ar-rafahiyah al-maddiyah), ekonomi Islam memiliki sasaran yang lebih jauh yakni merealisasikan kehidupan kerohanian yang lebih tinggi (berkualitas) dan pendidikan kejiwaan.
9.      Realistis (al-waqi`iyyah). Prakiraan (forcasting) ekonomi khususnya prakiraan bisnis tidak selamanya sesuai antara teori di satu sisi dengan praktek pada sisi yang lain. Dalam hal-hal tertentu, sangat dimungkinkan terjadi pengecualian atau bahkan penyimpangan dari hal-hal yang semestinya. Misalnya, dalam keadaan normal, Islam mengharamkan praktek jual-beli barang-barang yang diharamkan untuk mengonsumsinya, tetapi dalam keadaan darurat (ada kebutuhan sangat mendesak) pelarangan itu bisa jadi diturunkan statusnya menjadi boleh atau sekurang-kurangnya tidak berdosa.
10.  Harta kekayaan itu pada hakekatnya adalah milik Alah s.w.t. Dalam prinsip ini terkandung maksud bahwa kepemilikan seseorang terhadap harta kekayaan (al-amwal) tidaklah bersifat mutlak. Itulah sebabnya mengapa dalam Islam pendayagunaan harta kekayaan itu tetap harus diklola dan dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan Sang Maha Pemilik yaitu Allah s.w.t. Atas dalih apapun, seseorang tidak bolehbertindak sewenag-wenang dalam mentasarrufkan (membelanjakan) harta kekayaannya, termasuk dengan dalih bahwa harta kekayaan itu milik pribadinya.
11.  Memiliki kecakapan dalam mengelola harta kekayaan (tarsyid istikhdam al-mal). Para pemilik harta perlu memiliki kecerdasan/kepiawaian dalam mengelola atau mengatur harta kekayaannya semisal berlaku hemat dalam berbelanja, tidak menyerahkan harta kepada orang yang belum/tidak mengerti tentang pendayagunaannya, dan tidak membelanjakan hartanya ke dalam hal-hal yang diharamkan agama, serta tidak menggunakannya pada hal-hal yang akan merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Soeharno, Teori Mikroekonomi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2007
Soediyono Reksoprayitno, MBA., Pengantar Ekonomi Makro, BPFE          Yogyakarta, 2000,
Rosyidi, suherman, Pengantar Teori Ekonomi. Jakarta : PT. RajaGrafindo   persada, 2006.