Sejarah Ekonomi Mikro Syariah
Sejarah Ekonomi Mikro Syariah
Awal
mula pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak masa Nabi Muhammad SAW diutus
menjadi seorang Rasul. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan di masa Rasulullah
selain masalah hukum (fiqih) dan politik (siyasah), kebijakan dalam hal
perniagaan atau ekonomi (muamalah) juga diatur di antara kebijakan – kebijakan
yang dikeluarkan. Rasulullah menjadikan masalah ekonomi sebagai suatu hal yang
harus diberikan perhatian yang lebih. Oleh karena perekonomian adalah pilar penyangga
keimanan yang harus diperhatikan. Kebijakan yang telah dibentuk oleh Rasulullah
ini, juga dijadikan pedoman oleh para Khalifah yang menggantikan kepemimpinan
sepeninggal Rasulullah saw dalam mengambil keputusan tentang perekonomian.
Landasan utama sebagai dasar adalah Al-Quran
dan Al -Hadist. Berikut ini akan kita bicarakan lebih lanjut
tentang pemikiran-pemikiran pada masa-masa tersebut.[3]
1.
Perekonomian
Di Masa Rasulullah SAW (571-632 M)
Tentunya kondisi kehidupan pada masa Rasulullah SAW
sangat jauh berbeda dengan keadaan saat ini.Di masa Rasulullah saw, peperangan
masih mewarnai kehidupan masyarakat pada saat itu. Salah satu sumber pendapatan
masyarakat saat itu adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari lawan
perang. Tidak ada pendapatan tetap bagi mereka sebagai pengikut perang bersama
Rasulullah saw. Ketika
harta rampasan perang telah dihalalkan untuk dinikmati secara keseluruhan oleh
mereka yang mengikuti peperangan, kemudian turunlah Surat Al-Anfal (8) ayat 41
:[4]
“Ketahuilah sesungguhnya
apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya
seperlima untuk Alloh, Rosul, Kerabat Rosul, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Alloh dan kepada yang Kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqaan, yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. Dan Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu. “Sejak saat
itu, harta rampasan yang diperoleh tidak digunakan secara keseluruhan untuk
memenuhi kebutuhan prahurit perang. Akan tetapi Rasulullah membaginya sesuai
dengan perintah dari Allah dalam surat Al – Anfal ayat 41 di atas.
Tahun kedua setelah hijriah, Zakat Fitrah yang dibayarkan
setahun sekali pada bulan ramadhan mulai diberlakukan. Besarya satu sha kurma,
gandum, tepung keju, atau kismis. Setengah sha gandum untuk setiap muslim,
budak atau orang bebas, laki-laki atau perempuan, muda atau tua dan dibayar
sebelum Shalat Idul Fitri.
Zakat Maal ( Harta) diwajibkan pada tahun ke-9 hijriah, sementara zakat fitrah (shodaqoh fitrah) pada tahun ke-2 hijrah. Akan tetapi ada ahli hadist memandang zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 hijriah ketika Maulana Abdul hasa berkata zakat diwajibkan setelah hijriah dan kurun waktu lima tahun setelahnya. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum.[5]
Zakat Maal ( Harta) diwajibkan pada tahun ke-9 hijriah, sementara zakat fitrah (shodaqoh fitrah) pada tahun ke-2 hijrah. Akan tetapi ada ahli hadist memandang zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 hijriah ketika Maulana Abdul hasa berkata zakat diwajibkan setelah hijriah dan kurun waktu lima tahun setelahnya. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum.[5]
2.
Perekonomian
Di Masa Khulafaurrasyidin[6]
2.1.Abu
Bakar As-Sidiq (51 SH -13 H / 537 – 634 M)
Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke Madinah, bersamaan
dengan itu sebuah Baitul Maal dibangun. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan
keluarganya diurus oleh kekayaan dari Baitul Maal ini. Menurut beberapa
keterangan beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat
dirham setiap harinya dari Baitul Maal dalam beberapa waktu. Ternyata tunjangan
tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2500 dirham dan menurut
keterangan 6000 dirham per tahun Khalifah
Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Beliau juga
mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat
Islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan
sepeninggal Rosululloh SAW.
2.2.Umar
bin Khattab (40SH – 23H / 584 – 644 M)
Khalifah Umar sangat
memperhatikan sektor ekonomi untuk menunjang perekonomian negerinya. Hukum
perdagangan mengalami penyempurnaan untuk menciptakan perekonomian secara
sehat. Umar mengurangi beban pajak untuk beberapa barang, pajak perdagangan
nabad dan kurma Syiria sebesar 50%. Hal ini untuk memperlancar arus pemasukan
bahan makanan ke kota. Pada saat yang sama juga dibangun pasar agar tercipta
perdagangan dengan persaingan yang bebas. Serta adanya pengawasan terhadap
penekanan harga. Beliau juga sangat tegas dalam menangani masalah zakat. Zakat
dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara
umum. Umar menetapkan zakat atas harta dan bagi yang membangkang didenda
sebesar 50% dari kekayaannya.
2.3.Ustman
bin Affan ( 47 SH – 35H / 577 – 656 M)
Khalifah Ustman mengikuti
kebijakan yang ditetapkan oleh Umar. Usman mengurangi jumlah zakat dari
pensiun. Tabri menyebutkan ketika khalifah Ustman menaikkan pensiun sebesar
seratus dirham, tetapi tidak ada rinciannya.Beliau menambahkan santunan dengan
pakaian. Selain itu ia memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk
orang-orang miskin dan musafir.
Pada masa Ustman, sumber pendapatan pemerintah berasal
dari zakat, ushr( zakat atas hasil pertanian dan buah – buahan) , kharaj(pajak
yang ditujukan untuk menjaga kebutuhan atau fasilitas umum atau publik), fay(
tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya sehinga diambil alih menjadi milik
negara) dan ghanimah( harta rampasan perang). Zakat ditetapkan 2,5 persen
dari modal aset. Ushr ditetapkan 10 persen iuran tanah-tanah pertanian
sebagaiman barang-barang dagangan yang diimpor dari luar negeri. Persentase
dari kharaj lebih tinggi dari ushr. Ghanimah yang didapatkan dibagi 4/5 kepada
para prajurit yang ikut andil dalam perang sedangkan 1/5-nya disimpan sebagai
kas negara.
2.4. All bin Abi Thalib (23H – 40H / 600 – 661 M )
Pada masa pemerintahan Ali,
beliau mendistribusikan seluruh pendapatan provinsi yang ada di Baitul Mall
Madinah , Busra, dan Kuffah. Ali ingin mendistribusikan sawad, namun ia menahan
diri untuk menghindari terjadi perselisihan.Secara umum, banyak kebijakan dari
khalifah Ustman yang masih diterapkan, seperti alokasi pengeluaran yang tetap
sama.
b. Definisi Ekonomi Mikro Islam menurut Ekonomi Islam
Dari uraian
sejarah singkat dari ekonomi mikro tersebut maka definisi ekonomi mikro
tidaklah lagi sebagaimana definisi umum yang biasa kita kenal dalam buku-buku
mengenai keduanya. Yaitu
ekonomi mikro disebutkan sebagai teori yang menelaah kegiatan ekonomi secara
individual dari sudut pandang hubungan antara produksi, konsumsi, harga,
permintaan dan penawaran. Tidaklah demikian. Sebagaimana sejarah menyebutkan,
maka definisi dari ekonomi mikro dapat kita definisikan dengan definisi yang
lebih akurat, yakni sebagai berikut:
Bahwa Ekonomi Mikro adalah:
“Teori
ekonomi yang menelaah kegiatan ekonomi antar individu dalam suatu masyarakat,
yang apabila teori tersebut dipraktekkan dalam kehidupan nyata pasti akan
menimbulkan masalah, yang masalah tersebut tidak akan pernah dapat
terselesaikan dengan cara apapun juga.” [7]
Apabila
ada sebuah solusi yang mampu meredam gejolak masalah tersebut, pasti dikemudian
hari masalah tersebut akan muncul kembali dengan permasalahan yang jauh lebih
besar.
c. Ruang Lingkup Ekonomi
Mikro Islam
Pada
dataran teoritis, ada beberapa pokok bahasan ilmu mikro ekonomi yang
telah menjadi kajian dari sudut pandang ilmu ekonomi Islam, diantaranya adalah:[8]
1.
Asumsi Rasionalitas dalam Ekonomi Islami
-
Perluasan konsep Rasionalitas melalui
persyaratan transitivitas dan pengaruh infak (sedekah) terhadap utilitas.
-
Perluasan spektrum utilitas oleh nilai Islam
tentang halal dan haram
-
Pelonggaran persyaratan kontinuitas, misal
permintaan barang haram ketika keadaan darurat.
-
Perluasan horison waktu (kebalikan konsep time
value of money)
2.
Teori Permintaan Islami
-
Peningkatan Utilitas antara barang halal dan
haram.
-
Corner Solution untuk pilihan halal-haram.
-
Permintaan barang haram dalam keadaan darurat
(tidak optimal)
3.
Teori Produksi Islami
-
Perbandingan pengaruh sistem bunga dan bagi
hasil terhadap biaya produksi,
-
pendapatan, dan efisiensi produksi.
4.
Teori Penawaran Islami
-
Perbandingan pengaruh pajak penjualan dan zakat
perniagaan terhadap surplus produsen.
-
Internalisasi Biaya Eksternal.
-
Penerapan Biaya Kompensasi, batas ukuran, atau daur
ulang.
5. Mekanisme Pasar
Islami
-
Mekanisme pasar menurut Abu Yusuf, al-Ghazaly,
Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun.
-
Mekanisme pasar Islami dan intervensi harga
Islami.
-
Intervensi harga yang adil dan zalim.
6.
Efisiensi Alokasi dan Distribusi Pendapatan
-
Infak dan maksimalisasi utilitas
-
Superioritas sistem ekonomi Islam
Diskursus ilmu mikro ekonomi ini masih memiliki kekurangan mendasar karena
seringkali diadopsi dari model yang dipergunakan dalam ekonomi konvensional
sehingga tidak selalu sesuai dengan asumsi paradigmatiknya. Lebih-lebih lagi,
pengujian empiris terhadap model-model ini tidak mungkin dilakukan sekarang
karena tidak adanya sebuah perekonomian yang benar-benar islami atau yang
mendekatinya, dan juga tidak tersedianya data yang diperlukan untuk pengujian
tersebut. Sangat
sedikit kajian yang memperlihatkan bagaimana aktivitas perekonomian muslim
beroperasi pada zaman dahulu. Bahkan kajian empiris terhadap masyarakat muslim
modern di negara-negara muslim maupun nonmuslim dari perspektif Islam juga amat
jarang.
Namun demikian, ini tidak berarti mengurangi
minat dan semangat kita mengembangkan ilmu Ekonomi Islam. Kerangka hipotesis
yang telah terintis dapat berfungsi sebagai tujuan yang berguna dalam
menyediakan bangunan teoritis bagi ilmu Ekonomi Islam dan mengidentifikasi
keunggulan dan kelemahan suatu perekonomian islam, ketika kelak hal itu telah
dipraktekkan di suatu negara. Hanya dengan mengembangkan mikroekonomi yang
sesuai dengan paradigma Islamlah yang akan meneguhkan identitas unik Ekonomi
Islam. Oleh karena itu, “Konstruksi teori mikroekonomi di bawah batasan-batasan
Islam merupakan tugas yang paling menantang di depan ilmu Ekonomi Islam”.
d. Karakteristik Ekonomi
Mikro Islam[9]
1.
Ekonomi Islam
pengaturannya bersifat ketuhanan/ilahiah (nizhamun rabbaniyyun), mengingat
dasar-dasar pengaturannya yang tidak diletakkan oleh manusia, akan tetapi
didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan Allah s.w.t. sebagaimana terdapat
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, berbeda dengan hukum ekonomi lainnya yakni
kapitalis (ra’simaliyah; capitalistic) dan sosialis (syuyu`iyah; socialistic)
yang tata aturannya semata-mata didasarkan atas konsep-konsep/teori-teori yang
dihadirkan oleh manusia (para ekonom).
2.
Dalam Islam, ekonomi hanya merupakan satu titik bahagian
dari al-Islam secara keseluruhan (juz’un min al-Islam as-syamil). Oleh karena
ekonomi itu hanya merupakan salah satu bagian atau tepatnya sub sistem dari
al-Islam yang bersifat komprehensip (al-Islam as-syamil), maka ini artinya
tidaklah mungkin memisahkan persoalan ekonomi dari rangkaian ajaran Islam
secara keseluruhan yang bersifat utuh dan menyeluruh (holistik). Misalnya saja,
karena Islam itu agama akidah dan agama akhlak di samping agama syariah
(muamalah), maka ekonomi Islam tidak boleh terlepas apalagi dilepaskan dari
ikatannya dengan sistem akidah dan sistem akhlaq (etika) di samping hukum.
Itulah sebabnya seperti akan dibahas pada waktunya nanti, mengapa ekonomi Islam
tetap dibangun di atas asas-asas akadiah (al-asas al-`aqa’idiyyah) dan
asas-asas etika-moral (al-asas akhlaqiyyah) yang lainnya.
3.
Ekonomi
berdimensi akidah atau keakidahan (iqtishadun `aqdiyyun), mengingat ekonomi
Islam itu pada dasarnya terbit atau lahir (sebagai ekspresi) dari akidah
Islamiah (al-`aqidah sl-Islamiyyah) yang di dalamnya akan dimintakan
pertanggung-jawaban terhadap akidah yang diyakininya. Atas dasar ini maka
seorang Muslim (menjadi) terikat dengan sebagian kewajibannya semisal zakat,
sedekah dan lain-lain walaupun dia sendiri harus kehilangan sebagian
kepentingan dunianya karena lebih cenderung untuk mendapatkan pahala dari Allah
s.w.t. di hari kiamat kelak.
4.
Berkarakter ta`abbudi (thabi`un ta`abbudiyun). Mengingat
ekonomi Islam itu merupakan tata aturan yang berdimensikan ketuhanan (nizham
rabbani), dan setiap ketaatan kepada salah satu dari sekian banyak
aturan-aturan Nya adalah berarti ketaatan kepada Allah s.w.t., dan setiap
ketaatan kepada Allah itu adalah ibadah. Dengan demikian maka penerapan
aturan-aturan ekonomi Islam (al-iqtishad al-Islami) adalah juga mengandung
nilai-nilai ibadah dalam konteksnya yang sangat luas dan umum.
5.
Terkait erat
dengan akhlak (murtabithun bil-akhlaq), Islam tidak pernah memprediksi
kemungkinan ada pemisahan antara akhlak dan ekonomi, juga tidak pernah
memetakan pembangunan ekonomi dalam lindungan Islam yang tanpa akhlak. Itulah
sebabnya mengapa dalam Islam kita tidak akan pernah menemukan aktivitas ekonomi
seperti perdagangan, perkreditan dan lain-lain yang semata-mata murni kegiatan
ekonomi sebagaimana terdapat di dalam ekonomi non Islam. Dalam Islam, kegiatan
ekonomi sama sekali tidak boleh lepas dari kendali akhlaq (etika-moral) yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam secara keseluruhan.
6.
Elastis (al-murunah), dalam pengertian mampu berkembang
secara perlahan-lahan atau evolusi. Kekhususan al-murunah ini didasarkan pada
kenyataan bahwa baik al-Qur’an maupun al-Hadits, yang keduanya dijadikan
sebagai sumber asasi ekonomi, tidak memberikan doktrin ekonomi secara tekstual
akan tetapi hanya memberikan garis-garis besar yang bersifat instruktif guna
mengarahkan perekonomian Islam secara global. Sedangkan implementasinya secara
riil di lapangan diserahkan kepada kesepakatan sosial (masyarakat ekonomi)
sepanjang tidak menyalahi cita-cita syari`at (maqashid as-syari`ah).
7.
Objektif (al-maudhu`iyyah), dalam pengertian, Islam
mengajarkan umatnya supaya berlaku dan bertindak obyekektif dalam melakukan
aktifitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada hakekatnya adalah merupakan
pelaksanaan amanat yang harus dipenuhi oleh setiap pelaku ekonomi tanpa
membeda-bedakan jenis kelamin, warna kulit, etnik, agama/kepercayaan dan
lain-lain. Bahkan terhadap musuh sekalipun di samping terhadap kawan dekat.
Itulah sebabnya mengapa monopoli misalnya dilarang dalam Islam. Termasuk ke
dalam hal yang dilarang ialah perlakuan dumping dalam berdagang/berbisnis.
8.
Memiliki target sasaran/tujuan yang lebih tinggi (al-hadaf
as-sami). Berlainan dengan sistem ekonomi non Islam yang semata-mata hanya
untuk mengejar kepuasan materi (ar-rafahiyah al-maddiyah), ekonomi Islam
memiliki sasaran yang lebih jauh yakni merealisasikan kehidupan kerohanian yang
lebih tinggi (berkualitas) dan pendidikan kejiwaan.
9.
Realistis (al-waqi`iyyah). Prakiraan (forcasting) ekonomi
khususnya prakiraan bisnis tidak selamanya sesuai antara teori di satu sisi
dengan praktek pada sisi yang lain. Dalam hal-hal tertentu, sangat dimungkinkan
terjadi pengecualian atau bahkan penyimpangan dari hal-hal yang semestinya.
Misalnya, dalam keadaan normal, Islam mengharamkan praktek jual-beli
barang-barang yang diharamkan untuk mengonsumsinya, tetapi dalam keadaan
darurat (ada kebutuhan sangat mendesak) pelarangan itu bisa jadi diturunkan
statusnya menjadi boleh atau sekurang-kurangnya tidak berdosa.
10. Harta kekayaan itu pada hakekatnya adalah milik Alah
s.w.t. Dalam prinsip ini terkandung maksud bahwa kepemilikan seseorang terhadap
harta kekayaan (al-amwal) tidaklah bersifat mutlak. Itulah sebabnya mengapa
dalam Islam pendayagunaan harta kekayaan itu tetap harus diklola dan
dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan Sang Maha Pemilik yaitu Allah s.w.t. Atas
dalih apapun, seseorang tidak bolehbertindak sewenag-wenang dalam
mentasarrufkan (membelanjakan) harta kekayaannya, termasuk dengan dalih bahwa
harta kekayaan itu milik pribadinya.
11. Memiliki kecakapan dalam mengelola
harta kekayaan (tarsyid istikhdam al-mal). Para pemilik harta perlu memiliki
kecerdasan/kepiawaian dalam mengelola atau mengatur harta kekayaannya semisal
berlaku hemat dalam berbelanja, tidak menyerahkan harta kepada orang yang
belum/tidak mengerti tentang pendayagunaannya, dan tidak membelanjakan hartanya
ke dalam hal-hal yang diharamkan agama, serta tidak menggunakannya pada hal-hal yang akan merugikan orang lain.
Sejarah Ekonomi Mikro Syariah
Awal
mula pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak masa Nabi Muhammad SAW diutus
menjadi seorang Rasul. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan di masa Rasulullah
selain masalah hukum (fiqih) dan politik (siyasah), kebijakan dalam hal
perniagaan atau ekonomi (muamalah) juga diatur di antara kebijakan – kebijakan
yang dikeluarkan. Rasulullah menjadikan masalah ekonomi sebagai suatu hal yang
harus diberikan perhatian yang lebih. Oleh karena perekonomian adalah pilar penyangga
keimanan yang harus diperhatikan. Kebijakan yang telah dibentuk oleh Rasulullah
ini, juga dijadikan pedoman oleh para Khalifah yang menggantikan kepemimpinan
sepeninggal Rasulullah saw dalam mengambil keputusan tentang perekonomian.
Landasan utama sebagai dasar adalah Al-Quran
dan Al -Hadist. Berikut ini akan kita bicarakan lebih lanjut
tentang pemikiran-pemikiran pada masa-masa tersebut.[3]
1.
Perekonomian
Di Masa Rasulullah SAW (571-632 M)
Tentunya kondisi kehidupan pada masa Rasulullah SAW
sangat jauh berbeda dengan keadaan saat ini.Di masa Rasulullah saw, peperangan
masih mewarnai kehidupan masyarakat pada saat itu. Salah satu sumber pendapatan
masyarakat saat itu adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari lawan
perang. Tidak ada pendapatan tetap bagi mereka sebagai pengikut perang bersama
Rasulullah saw. Ketika
harta rampasan perang telah dihalalkan untuk dinikmati secara keseluruhan oleh
mereka yang mengikuti peperangan, kemudian turunlah Surat Al-Anfal (8) ayat 41
:[4]
“Ketahuilah sesungguhnya
apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya
seperlima untuk Alloh, Rosul, Kerabat Rosul, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Alloh dan kepada yang Kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqaan, yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. Dan Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu. “Sejak saat
itu, harta rampasan yang diperoleh tidak digunakan secara keseluruhan untuk
memenuhi kebutuhan prahurit perang. Akan tetapi Rasulullah membaginya sesuai
dengan perintah dari Allah dalam surat Al – Anfal ayat 41 di atas.
Tahun kedua setelah hijriah, Zakat Fitrah yang dibayarkan
setahun sekali pada bulan ramadhan mulai diberlakukan. Besarya satu sha kurma,
gandum, tepung keju, atau kismis. Setengah sha gandum untuk setiap muslim,
budak atau orang bebas, laki-laki atau perempuan, muda atau tua dan dibayar
sebelum Shalat Idul Fitri.
Zakat Maal ( Harta) diwajibkan pada tahun ke-9 hijriah, sementara zakat fitrah (shodaqoh fitrah) pada tahun ke-2 hijrah. Akan tetapi ada ahli hadist memandang zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 hijriah ketika Maulana Abdul hasa berkata zakat diwajibkan setelah hijriah dan kurun waktu lima tahun setelahnya. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum.[5]
Zakat Maal ( Harta) diwajibkan pada tahun ke-9 hijriah, sementara zakat fitrah (shodaqoh fitrah) pada tahun ke-2 hijrah. Akan tetapi ada ahli hadist memandang zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 hijriah ketika Maulana Abdul hasa berkata zakat diwajibkan setelah hijriah dan kurun waktu lima tahun setelahnya. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum.[5]
2.
Perekonomian
Di Masa Khulafaurrasyidin[6]
2.1.Abu
Bakar As-Sidiq (51 SH -13 H / 537 – 634 M)
Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke Madinah, bersamaan
dengan itu sebuah Baitul Maal dibangun. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan
keluarganya diurus oleh kekayaan dari Baitul Maal ini. Menurut beberapa
keterangan beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat
dirham setiap harinya dari Baitul Maal dalam beberapa waktu. Ternyata tunjangan
tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2500 dirham dan menurut
keterangan 6000 dirham per tahun Khalifah
Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Beliau juga
mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat
Islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan
sepeninggal Rosululloh SAW.
2.2.Umar
bin Khattab (40SH – 23H / 584 – 644 M)
Khalifah Umar sangat
memperhatikan sektor ekonomi untuk menunjang perekonomian negerinya. Hukum
perdagangan mengalami penyempurnaan untuk menciptakan perekonomian secara
sehat. Umar mengurangi beban pajak untuk beberapa barang, pajak perdagangan
nabad dan kurma Syiria sebesar 50%. Hal ini untuk memperlancar arus pemasukan
bahan makanan ke kota. Pada saat yang sama juga dibangun pasar agar tercipta
perdagangan dengan persaingan yang bebas. Serta adanya pengawasan terhadap
penekanan harga. Beliau juga sangat tegas dalam menangani masalah zakat. Zakat
dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara
umum. Umar menetapkan zakat atas harta dan bagi yang membangkang didenda
sebesar 50% dari kekayaannya.
2.3.Ustman
bin Affan ( 47 SH – 35H / 577 – 656 M)
Khalifah Ustman mengikuti
kebijakan yang ditetapkan oleh Umar. Usman mengurangi jumlah zakat dari
pensiun. Tabri menyebutkan ketika khalifah Ustman menaikkan pensiun sebesar
seratus dirham, tetapi tidak ada rinciannya.Beliau menambahkan santunan dengan
pakaian. Selain itu ia memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk
orang-orang miskin dan musafir.
Pada masa Ustman, sumber pendapatan pemerintah berasal
dari zakat, ushr( zakat atas hasil pertanian dan buah – buahan) , kharaj(pajak
yang ditujukan untuk menjaga kebutuhan atau fasilitas umum atau publik), fay(
tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya sehinga diambil alih menjadi milik
negara) dan ghanimah( harta rampasan perang). Zakat ditetapkan 2,5 persen
dari modal aset. Ushr ditetapkan 10 persen iuran tanah-tanah pertanian
sebagaiman barang-barang dagangan yang diimpor dari luar negeri. Persentase
dari kharaj lebih tinggi dari ushr. Ghanimah yang didapatkan dibagi 4/5 kepada
para prajurit yang ikut andil dalam perang sedangkan 1/5-nya disimpan sebagai
kas negara.
2.4. All bin Abi Thalib (23H – 40H / 600 – 661 M )
Pada masa pemerintahan Ali,
beliau mendistribusikan seluruh pendapatan provinsi yang ada di Baitul Mall
Madinah , Busra, dan Kuffah. Ali ingin mendistribusikan sawad, namun ia menahan
diri untuk menghindari terjadi perselisihan.Secara umum, banyak kebijakan dari
khalifah Ustman yang masih diterapkan, seperti alokasi pengeluaran yang tetap
sama.
b. Definisi Ekonomi Mikro Islam menurut Ekonomi Islam
Dari uraian
sejarah singkat dari ekonomi mikro tersebut maka definisi ekonomi mikro
tidaklah lagi sebagaimana definisi umum yang biasa kita kenal dalam buku-buku
mengenai keduanya. Yaitu
ekonomi mikro disebutkan sebagai teori yang menelaah kegiatan ekonomi secara
individual dari sudut pandang hubungan antara produksi, konsumsi, harga,
permintaan dan penawaran. Tidaklah demikian. Sebagaimana sejarah menyebutkan,
maka definisi dari ekonomi mikro dapat kita definisikan dengan definisi yang
lebih akurat, yakni sebagai berikut:
Bahwa Ekonomi Mikro adalah:
“Teori
ekonomi yang menelaah kegiatan ekonomi antar individu dalam suatu masyarakat,
yang apabila teori tersebut dipraktekkan dalam kehidupan nyata pasti akan
menimbulkan masalah, yang masalah tersebut tidak akan pernah dapat
terselesaikan dengan cara apapun juga.” [7]
Apabila
ada sebuah solusi yang mampu meredam gejolak masalah tersebut, pasti dikemudian
hari masalah tersebut akan muncul kembali dengan permasalahan yang jauh lebih
besar.
c. Ruang Lingkup Ekonomi
Mikro Islam
Pada
dataran teoritis, ada beberapa pokok bahasan ilmu mikro ekonomi yang
telah menjadi kajian dari sudut pandang ilmu ekonomi Islam, diantaranya adalah:[8]
1.
Asumsi Rasionalitas dalam Ekonomi Islami
-
Perluasan konsep Rasionalitas melalui
persyaratan transitivitas dan pengaruh infak (sedekah) terhadap utilitas.
-
Perluasan spektrum utilitas oleh nilai Islam
tentang halal dan haram
-
Pelonggaran persyaratan kontinuitas, misal
permintaan barang haram ketika keadaan darurat.
-
Perluasan horison waktu (kebalikan konsep time
value of money)
2.
Teori Permintaan Islami
-
Peningkatan Utilitas antara barang halal dan
haram.
-
Corner Solution untuk pilihan halal-haram.
-
Permintaan barang haram dalam keadaan darurat
(tidak optimal)
3.
Teori Produksi Islami
-
Perbandingan pengaruh sistem bunga dan bagi
hasil terhadap biaya produksi,
-
pendapatan, dan efisiensi produksi.
4.
Teori Penawaran Islami
-
Perbandingan pengaruh pajak penjualan dan zakat
perniagaan terhadap surplus produsen.
-
Internalisasi Biaya Eksternal.
-
Penerapan Biaya Kompensasi, batas ukuran, atau daur
ulang.
5. Mekanisme Pasar
Islami
-
Mekanisme pasar menurut Abu Yusuf, al-Ghazaly,
Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun.
-
Mekanisme pasar Islami dan intervensi harga
Islami.
-
Intervensi harga yang adil dan zalim.
6.
Efisiensi Alokasi dan Distribusi Pendapatan
-
Infak dan maksimalisasi utilitas
-
Superioritas sistem ekonomi Islam
Diskursus ilmu mikro ekonomi ini masih memiliki kekurangan mendasar karena
seringkali diadopsi dari model yang dipergunakan dalam ekonomi konvensional
sehingga tidak selalu sesuai dengan asumsi paradigmatiknya. Lebih-lebih lagi,
pengujian empiris terhadap model-model ini tidak mungkin dilakukan sekarang
karena tidak adanya sebuah perekonomian yang benar-benar islami atau yang
mendekatinya, dan juga tidak tersedianya data yang diperlukan untuk pengujian
tersebut. Sangat
sedikit kajian yang memperlihatkan bagaimana aktivitas perekonomian muslim
beroperasi pada zaman dahulu. Bahkan kajian empiris terhadap masyarakat muslim
modern di negara-negara muslim maupun nonmuslim dari perspektif Islam juga amat
jarang.
Namun demikian, ini tidak berarti mengurangi
minat dan semangat kita mengembangkan ilmu Ekonomi Islam. Kerangka hipotesis
yang telah terintis dapat berfungsi sebagai tujuan yang berguna dalam
menyediakan bangunan teoritis bagi ilmu Ekonomi Islam dan mengidentifikasi
keunggulan dan kelemahan suatu perekonomian islam, ketika kelak hal itu telah
dipraktekkan di suatu negara. Hanya dengan mengembangkan mikroekonomi yang
sesuai dengan paradigma Islamlah yang akan meneguhkan identitas unik Ekonomi
Islam. Oleh karena itu, “Konstruksi teori mikroekonomi di bawah batasan-batasan
Islam merupakan tugas yang paling menantang di depan ilmu Ekonomi Islam”.
d. Karakteristik Ekonomi
Mikro Islam[9]
1.
Ekonomi Islam
pengaturannya bersifat ketuhanan/ilahiah (nizhamun rabbaniyyun), mengingat
dasar-dasar pengaturannya yang tidak diletakkan oleh manusia, akan tetapi
didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan Allah s.w.t. sebagaimana terdapat
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, berbeda dengan hukum ekonomi lainnya yakni
kapitalis (ra’simaliyah; capitalistic) dan sosialis (syuyu`iyah; socialistic)
yang tata aturannya semata-mata didasarkan atas konsep-konsep/teori-teori yang
dihadirkan oleh manusia (para ekonom).
2.
Dalam Islam, ekonomi hanya merupakan satu titik bahagian
dari al-Islam secara keseluruhan (juz’un min al-Islam as-syamil). Oleh karena
ekonomi itu hanya merupakan salah satu bagian atau tepatnya sub sistem dari
al-Islam yang bersifat komprehensip (al-Islam as-syamil), maka ini artinya
tidaklah mungkin memisahkan persoalan ekonomi dari rangkaian ajaran Islam
secara keseluruhan yang bersifat utuh dan menyeluruh (holistik). Misalnya saja,
karena Islam itu agama akidah dan agama akhlak di samping agama syariah
(muamalah), maka ekonomi Islam tidak boleh terlepas apalagi dilepaskan dari
ikatannya dengan sistem akidah dan sistem akhlaq (etika) di samping hukum.
Itulah sebabnya seperti akan dibahas pada waktunya nanti, mengapa ekonomi Islam
tetap dibangun di atas asas-asas akadiah (al-asas al-`aqa’idiyyah) dan
asas-asas etika-moral (al-asas akhlaqiyyah) yang lainnya.
3.
Ekonomi
berdimensi akidah atau keakidahan (iqtishadun `aqdiyyun), mengingat ekonomi
Islam itu pada dasarnya terbit atau lahir (sebagai ekspresi) dari akidah
Islamiah (al-`aqidah sl-Islamiyyah) yang di dalamnya akan dimintakan
pertanggung-jawaban terhadap akidah yang diyakininya. Atas dasar ini maka
seorang Muslim (menjadi) terikat dengan sebagian kewajibannya semisal zakat,
sedekah dan lain-lain walaupun dia sendiri harus kehilangan sebagian
kepentingan dunianya karena lebih cenderung untuk mendapatkan pahala dari Allah
s.w.t. di hari kiamat kelak.
4.
Berkarakter ta`abbudi (thabi`un ta`abbudiyun). Mengingat
ekonomi Islam itu merupakan tata aturan yang berdimensikan ketuhanan (nizham
rabbani), dan setiap ketaatan kepada salah satu dari sekian banyak
aturan-aturan Nya adalah berarti ketaatan kepada Allah s.w.t., dan setiap
ketaatan kepada Allah itu adalah ibadah. Dengan demikian maka penerapan
aturan-aturan ekonomi Islam (al-iqtishad al-Islami) adalah juga mengandung
nilai-nilai ibadah dalam konteksnya yang sangat luas dan umum.
5.
Terkait erat
dengan akhlak (murtabithun bil-akhlaq), Islam tidak pernah memprediksi
kemungkinan ada pemisahan antara akhlak dan ekonomi, juga tidak pernah
memetakan pembangunan ekonomi dalam lindungan Islam yang tanpa akhlak. Itulah
sebabnya mengapa dalam Islam kita tidak akan pernah menemukan aktivitas ekonomi
seperti perdagangan, perkreditan dan lain-lain yang semata-mata murni kegiatan
ekonomi sebagaimana terdapat di dalam ekonomi non Islam. Dalam Islam, kegiatan
ekonomi sama sekali tidak boleh lepas dari kendali akhlaq (etika-moral) yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam secara keseluruhan.
6.
Elastis (al-murunah), dalam pengertian mampu berkembang
secara perlahan-lahan atau evolusi. Kekhususan al-murunah ini didasarkan pada
kenyataan bahwa baik al-Qur’an maupun al-Hadits, yang keduanya dijadikan
sebagai sumber asasi ekonomi, tidak memberikan doktrin ekonomi secara tekstual
akan tetapi hanya memberikan garis-garis besar yang bersifat instruktif guna
mengarahkan perekonomian Islam secara global. Sedangkan implementasinya secara
riil di lapangan diserahkan kepada kesepakatan sosial (masyarakat ekonomi)
sepanjang tidak menyalahi cita-cita syari`at (maqashid as-syari`ah).
7.
Objektif (al-maudhu`iyyah), dalam pengertian, Islam
mengajarkan umatnya supaya berlaku dan bertindak obyekektif dalam melakukan
aktifitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada hakekatnya adalah merupakan
pelaksanaan amanat yang harus dipenuhi oleh setiap pelaku ekonomi tanpa
membeda-bedakan jenis kelamin, warna kulit, etnik, agama/kepercayaan dan
lain-lain. Bahkan terhadap musuh sekalipun di samping terhadap kawan dekat.
Itulah sebabnya mengapa monopoli misalnya dilarang dalam Islam. Termasuk ke
dalam hal yang dilarang ialah perlakuan dumping dalam berdagang/berbisnis.
8.
Memiliki target sasaran/tujuan yang lebih tinggi (al-hadaf
as-sami). Berlainan dengan sistem ekonomi non Islam yang semata-mata hanya
untuk mengejar kepuasan materi (ar-rafahiyah al-maddiyah), ekonomi Islam
memiliki sasaran yang lebih jauh yakni merealisasikan kehidupan kerohanian yang
lebih tinggi (berkualitas) dan pendidikan kejiwaan.
9.
Realistis (al-waqi`iyyah). Prakiraan (forcasting) ekonomi
khususnya prakiraan bisnis tidak selamanya sesuai antara teori di satu sisi
dengan praktek pada sisi yang lain. Dalam hal-hal tertentu, sangat dimungkinkan
terjadi pengecualian atau bahkan penyimpangan dari hal-hal yang semestinya.
Misalnya, dalam keadaan normal, Islam mengharamkan praktek jual-beli
barang-barang yang diharamkan untuk mengonsumsinya, tetapi dalam keadaan
darurat (ada kebutuhan sangat mendesak) pelarangan itu bisa jadi diturunkan
statusnya menjadi boleh atau sekurang-kurangnya tidak berdosa.
10. Harta kekayaan itu pada hakekatnya adalah milik Alah
s.w.t. Dalam prinsip ini terkandung maksud bahwa kepemilikan seseorang terhadap
harta kekayaan (al-amwal) tidaklah bersifat mutlak. Itulah sebabnya mengapa
dalam Islam pendayagunaan harta kekayaan itu tetap harus diklola dan
dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan Sang Maha Pemilik yaitu Allah s.w.t. Atas
dalih apapun, seseorang tidak bolehbertindak sewenag-wenang dalam
mentasarrufkan (membelanjakan) harta kekayaannya, termasuk dengan dalih bahwa
harta kekayaan itu milik pribadinya.
11. Memiliki kecakapan dalam mengelola
harta kekayaan (tarsyid istikhdam al-mal). Para pemilik harta perlu memiliki
kecerdasan/kepiawaian dalam mengelola atau mengatur harta kekayaannya semisal
berlaku hemat dalam berbelanja, tidak menyerahkan harta kepada orang yang
belum/tidak mengerti tentang pendayagunaannya, dan tidak membelanjakan hartanya
ke dalam hal-hal yang diharamkan agama, serta tidak menggunakannya pada hal-hal yang akan merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Soeharno,
Teori Mikroekonomi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2007
Soediyono
Reksoprayitno, MBA., Pengantar Ekonomi Makro, BPFE Yogyakarta, 2000,
Rosyidi, suherman, Pengantar Teori Ekonomi. Jakarta : PT.
RajaGrafindo persada, 2006.
No comments:
Post a Comment