Al-Qur'an
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Al-Qur'an (
ejaan KBBI:
Alquran,
Arab:
القرآن) adalah
kitab suci agama
Islam. Umat
Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu
Allah yang diperuntukkan bagi manusia dan bagian dari
rukun iman yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad melalui perantaraan
Malaikat Jibril; dan wahyu pertama yang diterima oleh
Nabi Muhammad adalah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur'an surat Al-'Alaq ayat 1-5.
[1]
Hadits (
ejaan KBBI:
hadis,
bahasa Arab:
الحديث dengarkan (bantuan·info), transliterasi:
Al-Hadîts), adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad yang dijadikan landasan
syariat Islam. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain
al-Qur'an,
dalam hal ini kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
al-Qur'an. Kedudukannya yang lebih lengkap adalah sebagai berikut:
Etimologi
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur'an berasal dari bahasa Arab
yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata
Al-Qur'an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja
qara'a
yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai
pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18
Surah Al-Qiyamah yang artinya:
- "Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur'an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami.
(Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti
bacaannya". (Al-Qiyāmah 75:17-18)
Terminologi
Sebuah sampul dari mushaf Al-Qur'an.
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Kalam Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah".
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad penutup para nabi dan rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai
Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad
, tidak dinamakan Al-Qur'an seperti
Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat
Nabi Musa atau
Kitab Injil yang diturunkan kepada umat
Nabi Isa. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
yang membacanya tidak dianggap sebagai
ibadah, seperti
Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur'an.
Nama-nama lain Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama
lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut
adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
- Al-Kitab (Buku)[2][3]
- Al-Furqan (Pembeda benar salah)[4]
- Adz-Dzikr (Pemberi peringatan)[5]
- Al-Mau'idhah (Pelajaran/nasihat)[6]
- Al-Hukm (Peraturan/hukum)[7]
- Al-Hikmah (Kebijaksanaan)[8]
- Asy-Syifa' (Obat/penyembuh)[6][9]
- Al-Huda (Petunjuk)[6][10][11][12]
- At-Tanzil (Yang diturunkan)[13]
- Ar-Rahmat (Karunia)[10]
- Ar-Ruh (Ruh)[14]
- Al-Bayan (Penerang)[15]
- Al-Kalam (Ucapan/firman)[16]
- Al-Busyra (Kabar gembira)[17]
- An-Nur (Cahaya)[18]
- Al-Basha'ir (Pedoman)[19]
- Al-Balagh (Penyampaian/kabar)[20]
- Al-Qaul (Perkataan/ucapan)[21]
Struktur dan pembagian Al-Qur'an
Al-Qur'an yang sedang terbuka.
Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an terdiri atas 30 juz,114
surah (surat) dan 6236 ayat. Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah
surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni
surat Al Kautsar,
An-Nasr dan Al-'Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas
subbagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik
tertentu.
Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat
Makkiyah (surat
Mekkah) dan
Madaniyah (surat
Madinah).
Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat
tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah
hijrah ke
Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek,
menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan
kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya suratnya
panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari'ah).
Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat,
sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.
[butuh rujukan]
Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama
juz.
Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan
Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil
memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan
dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki
hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur'an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
- As Sab'uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa', Al-A'raaf, Al-An'aam, Al Maa-idah dan Yunus
- Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
- Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
- Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak
[22]. Dengan demikian tradisi sains
Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat
Muslim mampu membuat
sistematika penulisan
sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan
astronomis.
Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus, ayat-ayat al-Qur'an turun secara
berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Para ulama membagi
masa turunnya ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode
Mekkah dan periode
Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian
Rasulullah dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat
Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa
hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat
Madaniyah.
Ilmu Al-Qur'an yang membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab
suatu atau beberapa ayat al-Qur'an diturunkan disebut Asbabun Nuzul
(Sebab-sebab Turunnya (suatu ayat).
Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) ayat-ayat al-Qur'an sudah
dimulai sejak zaman Nabi Muhammad. Kemudian transformasinya menjadi teks
yang sudah dibundel menjadi satu seperti yang dijumpai saat ini, telah
dilakukan pada zaman
khalifah Utsman bin Affan.
Masa Nabi Muhammad
Pada masa ketika Nabi Muhammad masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni
Zaid bin Tsabit,
Ali bin Abi Talib,
Muawiyah bin Abu Sufyan dan
Ubay bin Kaab.
Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak
diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah
kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana,
potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga
sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu
diturunkan.
Masa Khulafaur Rasyidin
Pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan
Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama
perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan.
Umar bin Khattab
yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas
meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an
yang saat itu tersebar di antara para
sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan
Zaid bin Tsabit
sebagai koordinator pelaksanaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan
tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu
mushaf,
hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf
tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar
sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya
yakni
Hafshah yang juga istri Nabi Muhammad.
Pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni
Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan
dialek
(lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk
membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah)
yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut,
yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang
digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh
mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk
dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya
laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa depan
dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat
Ibnu Abi Dawud dalam
Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
“ |
Suwaid
bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik
tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai
mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata,
'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita
bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari
qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata,
'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu
pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan
perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'." |
” |
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam
Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an,
keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah
disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim
utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish,
yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin
Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan
memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga
orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al
Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf,
yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah
ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah
menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam,
mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun hasil usaha tersebut
dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau
menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan
tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal
teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih
jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti
sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh
dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi;
kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti
majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
- Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
- Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
- An-Nur, oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
- Al-Furqan, oleh A. Hassan guru Persatuan Islam
- Al-Qur'anu'l-Karim Bacaan Mulia, oleh Hans Bague Jassin
Terjemahan dalam bahasa Inggris antara lain:
- The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
- The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
- Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
- Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
- Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
- Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
- Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
- Al-Amin (bahasa Sunda)
- Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Bugis (huruf lontara), oleh KH
Abdul Muin Yusuf (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng
Sidrap Sulsel)
Tafsir
Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak zaman hidupnya Nabi
Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi
jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya
Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat
Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga
beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar
ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak
sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.
Adab terhadap Al-Qur'an
Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap
seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama
mengatakan bahwa jika seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak
boleh menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua
mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an, karena tidak
ada dalil yang menguatkannya.
[23]
“ |
Sesungguhnya
Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang
terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan. (Al-Waqiah 56:77-79) |
” |
Pendapat pertama
Pendapat kelompok pertama meyakini seseorang diharuskan berwudhu
sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an. Hal ini berdasarkan tradisi
dan interpretasi secara literal dari
surat Al Waaqi'ah
diatas. Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu
unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai
bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk
penghinaan serius terhadap sesuatu yang
suci. Berdasarkan
hukum
pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal
ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada
yang menerapkan
hukuman mati.
Pendapat kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah
di atas ialah: "Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur'an yang ada di
Lauhul Mahfudz
sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para
Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir
dari
Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh
Al-Hafidzh Ibnu Katsir
di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau
memegang Al-Qur'an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan
hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian
maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak
ada yang menyentuh Al-Qur'an kecuali mereka yang suci (bersih), yakni
dengan bentuk
faa'il (subyek/pelaku) bukan
maf'ul (obyek).
Kenyataannya Allah berfirman: "Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur'an)
kecuali mereka yang telah disucikan", yakni dengan bentuk
maf'ul (obyek) bukan sebagai
faa'il (subyek).
"Tidak ada yang menyentuh Al-Qur'an kecuali orang yang suci."
[24]
Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah: Tidak ada yang menyentuh
Al-Qur'an kecuali orang mu'min, karena orang mu'min itu suci tidak najis
sebagaimana sabda Muhammad. "Sesungguhnya orang mu'min itu tidak
najis".
[25]
Hubungan dengan kitab-kitab lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad
dalam agama Islam (
Taurat,
Zabur,
Injil,
lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan
posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan
Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai
hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:
- Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut.[26]
- Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya.[27]
- Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda.[28]
- Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat
cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai
beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut
pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada
teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.
Lihat pula
Referensi
- ^ Al-A'zami, M.M., (2005), Sejarah Teks Al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi, (terj.), Jakarta: Gema Insani Press, ISBN 979-561-937-3.
- ^ "Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa," (Al-Baqarah 2:2)
- ^ "Demi Kitab (Al Quran) yang menjelaskan," (Ad-Dhukan 44:2)
- ^ "Maha
suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada
hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,"
(Al-Furqan 25:1)
- ^ "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Al-Hijr 15:9)
- ^ a b c "Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk
serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Yunus 10:57)
- ^ "...dan
demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang
benar) dalam bahasa Arab, dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu
mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada
pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah." (Ar-Ra'd 13:37)
- ^ "Itulah
sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu, dan janganlah kamu
mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu
dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari
rahmat Allah)." (Al-Isra 17:39)
- ^ "...dan
Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian." (Al-Isra 17:82)
- ^ a b "...dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (An-Naml 27:77)
- ^ "...dan
sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al Quran), kami beriman
kepadanya. Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan
pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan
kesalahan." (Al-Jin 72:13)
- ^ "Dialah
yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan
agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun
orang-orang musyrikin tidak menyukai." (At-Tawbah 9:33)
- ^ "...dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam," (Asy-Syuara 26:192)
- ^ "...dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah
Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan
tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran
itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di
antara hamba-hamba Kami, dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus." (Asy-Syuraa 42:52)
- ^ "(Al
Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa." (Al-Imran 3:138)
- ^ "...dan
jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,
kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui." (At-Tawbah 9:6)
- ^ "Katakanlah:
"Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan
benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan
menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah)"." (An-Nahl 16:102)
- ^ "Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari
Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu
cahaya yang terang benderang (Al Quran)." (An-Nisa 4:174)
- ^ "Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini." (Al-Jatsiyah 45:20)
- ^ "(Al
Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya
mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui
bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang
berakal mengambil pelajaran." (Ibrahim 14:52)
- ^ "...dan
sesungguhnya telah Kami turunkan berturut-turut perkataan ini (Al
Quran) kepada mereka agar mereka mendapat pelajaran." (Al-Qashash 28:51)
- ^ Rahman, A., (2007), Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Quran, (terj.), Bandung: Penerbit Mizania, ISBN 979-8394-43-7
- ^ Almanhaj: Hukum menyentuh atau memegang Al-Qur'an bagi orang junub, wanita haid dan nifas (diakses pada 8 Juli 2010)
- ^ Shahih
riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm, dan dari jalan Hakim bin
Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu'jam
Kabir dan Mu'jam Ausath dan lain-lain, dan dari jalan Ibnu Umar
diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain, dan dari jalan Utsman bin
Abil Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu'jam Kabir dan lain-lain.
Irwaa-ul Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Dia telah
mentakhrij hadits di atas dan menyatakannya shahih.
- ^ Shahih
riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad
dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah
pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di
Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi
dan segera aku mandi kemudian aku datang (menemui dia), lalu dia
bersabda, "Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?" Jawabku, "Aku tadi
dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan
tidak bersih (suci)". Maka dia bersabda, "Subhanallah! Sesungguhnya
orang mu'min itu tidak najis". (Dalam riwayat yang lain dia bersabda,
"Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis").
- ^ "...dan
mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (Al-Baqarah 2:4)
- ^ "...dan
Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,"
(Al-Mā'idah 5:48)
- ^ Demi
Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada
umat-umat sebelum kamu, tetapi syaitan menjadikan umat-umat itu
memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka syaitan menjadi
pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih, dan
Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu
dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (An-Naĥl
16:63-64)
Bacaan lanjutan
- Departemen Agama Republik Indonesia -- Al-Qur'an dan Terjemahannya.
- Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.
- Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
- Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus --Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
- Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur'an. Semarang. Lubuk Raya.
- Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
- Shihab, Muhammad Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur'an. Bandung. Mizan.
- Wahid, Marzuki. 2005. Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung. Pustaka Setia.
Pranala luar
[sembunyikan]
Surah-surah Al-Qur'an
|
|
Hadits ( ejaan KBBI: hadis, bahasa Arab: الحديث dengarkan (bantuan·info), transliterasi: Al-Hadîts), adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur'an,
dalam hal ini kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
al-Qur'an. Kedudukannya yang lebih lengkap adalah sebagai berikut:
- Al-Qur'an
- Hadits
- Ijtihad:
- Ijma (kesepakatan para ulama),
- Qiyas (menetapkan suatu hukum atas perkara baru yang belum ada pada masa Nabi Muhammad hidup).
Etimologi
Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad .
Menurut istilah ulama ahli hadits, [siapa?] hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad , baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya ( Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi ( Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan
dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. [1] Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, [2] maka kata tersebut adalah kata benda. [3]
Struktur hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
- Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahya menyampaikan sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah
bahwa dia bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian
sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya
sendiri" (hadits riwayat Bukhari)
Sanad
Sanad ialah rantai penutur/ rawi (periwayat) hadits. Rawi
adalah masing-masing orang yang menyampaikan hadits tersebut (dalam
contoh di atas: Bukhari, Musaddad, Yahya, Syu'bah, Qatadah dan Anas).
Awal sanad ialah orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya
(kitab hadits); orang ini disebut mudawwin atau mukharrij. Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu mulai dari mudawwin
hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu
riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits
bersangkutan adalah
- Al-Bukhari --> Musaddad --> Yahya --> Syu’bah --> Qatadah --> Anas --> Nabi Muhammad
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah
penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad
disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur
dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal
ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah :
- Keutuhan sanadnya
- Jumlahnya
- Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya
Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu
pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan
dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
- Rawi
- Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu hadits. Sifat-sifat rawi yang ideal adalah:
- Bukan pendusta atau tidak dituduh sebagai pendusta
- Tidak banyak salahnya
- Teliti
- Tidak fasik
- Tidak dikenal sebagai orang yang ragu-ragu (peragu)
- Bukan ahli bid'ah
- Kuat ingatannya (hafalannya)
- Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi yang kuat
- Sekurangnya dikenal oleh dua orang ahli hadits pada jamannya.
- Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari zaman ke zaman oleh
ahli-ahli hadits yang semasa, dan disalin dan dipelajari oleh ahli-ahli
hadits pada masa-masa yang berikutnya hingga ke masa sekarang. Rawi yang
tidak ada catatannya dinamakan maj'hul, dan hadits yang diriwayatkannya tidak boleh diterima.
Matan
Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
- "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah:
- Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
- Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang
lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak
belakang).
Klasifikasi hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni
bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi)
serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits
bersangkutan).
Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu’ (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqthu’:
- Hadits Marfu’ adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad (contoh: hadits di atas)
- Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar,
Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan
seperti) ayah". Pernyataan dalam contoh itu tidak jelas, apakah berasal
dari Nabi atau sekedar pendapat para sahabat. Namun jika ekspresi yang
digunakan sahabat adalah seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang
untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama Rasulullah", maka
derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan
marfu'.
- Hadits Maqthu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada para tabi'in (penerus) atau sebawahnya. Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim
meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan:
"Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu
darimana kamu mengambil agamamu".
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada
beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya.
Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini
membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah dari ucapan para sahabat maupun tabi'in di mana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).
Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Mursal, Munqathi’, Mu’allaq, Mu’dlal dan Mudallas.
Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap
tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari
penutur di atasnya.
- Ilustrasi sanad: Pencatat hadits > Penutur 5> Penutur 4> Penutur 3 (tabi'ut tabi'in) > Penutur 2 (tabi'in) > Penutur 1 (para shahabi) > Rasulullah
- Hadits Musnad. Sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan
sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian
tertentu. Urut-urutan penutur memungkinkan terjadinya penyampaian hadits
berdasarkan waktu dan kondisi, yakni rawi-rawi itu memang diyakini
telah saling bertemu dan menyampaikan hadits. Hadits ini juga dinamakan muttashilus sanad atau maushul.
- Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah
(contoh: seorang tabi'in (penutur 2) mengatakan "Rasulullah berkata..."
tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
- Hadits Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau pada dua penutur yang tidak berturutan, selain shahabi.
- Hadits Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
- Hadits Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias tidak ada sanadnya. Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah.
- Hadits Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan "..si A berkata .." atau "Hadits ini dari si A.." tanpa ada kejelasan "..kepada saya..";
yakni tidak tegas menunjukkan bahwa hadits itu disampaikan kepadanya
secara langsung. Bisa jadi antara rawi tersebut dengan si A ada rawi
lain yang tidak terkenal, yang tidak disebutkan dalam sanad. Hadits ini
disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan
melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya,
padahal sebenarnya ada, atau hadits yang ditutup-tutupi kelemahan
sanadnya.
Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap
tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang
menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi
atas hadits mutawatir dan hadits ahad.
- Hadits Mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan
bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi
hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap
lapisan generasi (thaqabah) berimbang. Para ulama
berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir
(sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits
mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (lafaz redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
- Hadits Ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang
namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan
atas tiga jenis antara lain :
- Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu
lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain mungkin
terdapat banyak penutur)
- Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan, pada lapisan lain lebih banyak)
- Masyhur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau
lebih penutur pada salah satu lapisan, dan pada lapisan lain lebih
banyak) namun tidak mencapai derajat mutawatir. Dinamai juga hadits mustafidl.
Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling
penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau
penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi
ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, dla'if dan maudlu'.
- Hadits Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Sanadnya bersambung (lihat Hadits Musnad di atas);
- Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
- Pada saat menerima hadits, masing-masing rawi telah cukup umur (baligh) dan beragama Islam.
- Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (’illat).
- Hadits Hasan,
bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, namun ada sedikit
kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh rawi yang adil
namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat.
- Hadits Dhaif
(lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa
hadits mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau
mu’dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat
ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
- Hadits Maudlu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.
Jenis-jenis lain
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
- Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu
hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja dan rawi itu
dituduh berdusta.
- Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh
seorang rawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya/jujur.
- Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang tersembunyi (’illat). Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani
bahwa hadits Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah
diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut hadits
Ma'lul (yang dicacati) dan disebut hadits Mu'tal (hadits sakit atau
cacat).
- Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh seorang rawi melalui beberapa sanad dengan matan
(isi) kacau atau tidak sama atau bahkan kontradiksi dengan yang
dikompromikan
- Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang
belakang atau sebaliknya, baik dalam hal matan (isi) atau sanad
(silsilah)
- Hadits Gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
- Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh rawi, misalnya penjelasan-penjelasan yang bukan berasal dari Nabi
- Hadits Syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya namun bertentangan dengan hadits
lain yang diriwayatkan dari rawi-rawi yang lain. Hadits syadz bisa jadi
berderajat shahih, akan tetapi berlawanan isi dengan hadits shahih yang
lebih kuat sanadnya. Hadits yang lebih kuat sanadnya ini dinamakan Hadits Mahfuzh.
Hadits Qudsi
Hadits qudsi ialah hadits yang berisi perkataan Rasulullah mengenai firman Allah yang diwahyukan secara langsung. Makna hadits ini berasal dari Allah, akan tetapi—berbeda dengan Alquran--,
kata-katanya adalah kata-kata Rasulullah. Hadits qudsi ini, sebagian,
kemudian disampaikan kepada sahabat-sahabat Rasul yang tertentu.
Karenanya, tingkat kesahihan hadits qudsi ini serupa dengan hadits yang
lain-lain, dan diukur dengan cara yang serupa pula di atas.
Penulis hadits
Yakni ahli-ahli hadits yang mengumpulkan, mendaftar, menyeleksi dan
menuliskan hadits-hadits dalam suatu kitab hadits. Dikenal sebagai mudawwin atau mukharrij.
Periwayat umat Sunni
Periwayat umat Syi'ah
Umat Syi'ah hanya memercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad , melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, yang melawan Ali pada Perang Jamal.
Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian besar menggunakan:
- Ushul al-Kafi
- Al-Istibshar
- Al-Tahdzib
- Man La Yahduruhu al-Faqih
Kebanyakan hadits-hadits tersebut meriwayatkan perkataan Ja'far
ash-Shadiq dengan pentahrifan sanad. Kitab-kitab hadits Syiah tidak
beredar secara umum di Indonesia.
Beberapa istilah dalam ilmu hadits
Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:
- Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang
sama, dikenal dengan hadits Bukhari dan Muslim
- As-Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah
- As-Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut di atas selain Ahmad bin Hambal (Imam Ibnu Majah)
- Al-Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
- Al-Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
- Ats-Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
Pembentukan dan Sejarahnya
Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap
Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat
pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada
sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada
murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga
sampai kepada pembuku hadits. Itulah pembentukan hadits.
Masa pembentukan hadits
Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu
sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum
ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat
saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin. Pada saat ini Nabi
Muhammad sempat melarang penulisan hadits agar tidak tercampur dengan
periwayatan Al Qur'an, namun setelah beberapa waktu, dia Shalallahu
alaihi wassallam membolehkan penulisan hadits dari beberapa orang
sahabat yang mulia, seperti Abdullah bin Mas'ud, Abu Bakar, Umar, Abu
Hurairah, Zaid bin Tsabit, dllnya. Periode ini dimulai sejak Muhammad
diangkat sebagai nabi dan rasul hingga wafatnya (610M-632 M)
Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in,
dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada
masa ini hadits belum ditulis ataupun dibukukan, kecuali yang dilakukan
oleh beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Abdullah bin Mas'ud, dllnya. Seiring dengan perkembangan dakwah,
mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para
sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
Masa penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai
menolak menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan
kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah
dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat
mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam
permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum pernah
dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi
sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah
'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in
memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan
hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan hadits marfu'
dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.
Masa pendiwanan dan penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan hadits.
Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits
sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan
hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu' (yang berisi
perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan
mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan hadits pada
masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud di atas) juga
dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud
tash-hih (koreksi/verifikasi) atas hadits yang ada maupun yang dihafal.
Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan
hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan
pembinaan maghligai hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya
adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun yang
terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber
utamanya kitab-kitab hadits abad ke-4 Hijriyah.
Kitab-kitab hadits
Berdasarkan masa penghimpunan hadits
Abad ke-2 Hijriyah
Beberapa kitab yang terkenal:
- Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
- Al Musnad oleh Ahmad bin Hambal (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
- Mukhtaliful Hadits oleh As Syafi'i
- Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash-Shan'ani
- Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
- Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
- Mushannaf Al Laist oleh Al-Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
- As Sunan oleh Al-Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
- As Sunan oleh Al-Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
- Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para
'lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadits.
Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan
zaman.
Abad ke-3 H
- Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya :
- Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
- Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
- As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
- As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
- As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
- As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
- As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
Abad ke-4 H
- Al Mu'jamul Kabir oleh Ath-Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
- Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
- Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
- Al Mustadrak oleh Al-Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
- Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
- At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
- As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
- Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
- As Sunan oleh Ad-Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
- Al Mushannaf oleh Ath-Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
- Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
Abad ke-5 H dan selanjutnya
-
- Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
- Tashiful Wushul oleh Al-Fairuz Abadi (? - ? H / ? - 1084 M)
- Bersumber dari kutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami'ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
- Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami'ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
- Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
-
- Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
- Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
- As Sunannul Kubra oleh Al-Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
- Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M)
- Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al-Harrani (? - 652 H / ? - 1254 M)
- Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
- 'Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al-Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
- Al Muharrar oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
-
- At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
- Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
- Syarh (semacam tafsir untuk hadits)
-
- Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
- Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam An-Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
- Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
- Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh Asy-Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
- Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash-Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)
-
- Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
- Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
-
- Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
- Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
berisi hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim
dan menurut dirinya sendiri.
Referensi
- ^ "Hadith," Encyclopedia of Islam.
- ^ Lisan al-Arab, by Ibn Manthour, vol. 2, pg. 350; Dar al-Hadith edition.
- ^ al-Kuliyat
by Abu al-Baqa’ al-Kafawi, pg. 370; Al-Resalah Publishers. This last
phrase is quoted by al-Qasimi in Qawaid al-Tahdith, pg. 61; Dar
al-Nafais.
Bacaan lanjutan
- Pengetahuan Dasar tentang Pokok-pokok Ajaran Islam (A/B) oleh Mh. Amin Jaiz
- Metodologi Kritik Matan Hadits oleh Dr. Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, terjamahan, ISBN 979-578-047-6
- Berg, H. (2000). The development of exegesis in early Islam: the authenticity of Muslim literature from the formative period. Routledge. ISBN 0-7007-1224-0.
- Lucas, S. (2004). Constructive Critics, Hadith Literature, and the Articulation of Sunni Islam. Brill Academic Publishers. ISBN 90-04-13319-4.
- Robinson, C. F. (2003). Islamic Historiography. Cambridge University Press. ISBN 0-521-62936-5.
- Robson, J. "Hadith". Di P.J. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam Online. Brill Academic Publishers. ISSN 1573-3912.
- Swarup, Ram. Understanding Islam through Hadis. Exposition Press, Smithtown, New York USA (n/d).
- Jonathan A. C. Brown, "Criticism of the Proto-Hadith Canon: Al-daraqutni’s Adjustment of the Sahihayn," Journal of Islamic Studies, 15,1 (2004), 1-37.
- Recep Senturk, Narrative Social Structure: Anatomy of the Hadith Transmission Network, 610-1505 (Stanford, Stanford UP, 2006).
- Jonathan Brown, The Canonization of al-Bukhārī and Muslim. The Formation and Function of the Sunnī Ḥadīth (Leiden, Brill, 2007) (Islamic History and Civilization. Studies and Texts, 69).
- 1000 Qudsi Hadiths: An Encyclopedia of Divine Sayings; New York: Arabic Virtual Translation Center; (2012) ISBN 978-1-4700-2994-4
- Hallaq, Wael B. (1999). "The Authenticity of Prophetic Ḥadîth: A Pseudo-Problem". Studia Islamica (89): 75–90. doi:10.2307/1596086. ISSN 0585-5292. JSTOR 1596086.
- Brown, J. (2007). The Canonization of al-Bukhari and Muslim: The Formation and Function of the Sunni Hadith Canon. Leiden: Brill, 2007.
- Juynboll, G. H. A. (2007). Encyclopedia of Canonical Hadith. Leiden: Brill, 2007.
- Lucas, S. (2002). The Arts of Hadith Compilation and Criticism. University of Chicago. OCLC 62284281.
- Musa, A. Y. Hadith as Scripture: Discussions on The Authority Of Prophetic Traditions in Islam, New York: Palgrave, 2008. ISBN 0-230-60535-4
- Fred M. Donner, Narratives of Islamic Origins (1998)
- Warner, Bill. The Political Traditions of Mohammed: The Hadith for the Unbelievers, CSPI (2006). ISBN 0978552873 .
|
|
No comments:
Post a Comment